Ramadhan dan Pendidikan AdabTa'dib

Kuliah Ramadhan 03: Puasamu, Memasukkanmu Dalam Lingkaran Orang-orang Shalih

Ramadhan dan Pendidikan Adab

Oleh: Dr. Wido Supraha, M.Si. | Direktur Institut Adab Insan Mulia

Puasa bukanlah bentuk puasa pertama dalam sejarah peradaban, karena orang-orang shalih sejak dahulu telah mengenal puasa sebagai salah satu bentuk ibadah. Hal ini karena puasa adalah salah satu sarana efektif dalam meningkatkan takwa dan menurunkan fujur.

Allah SWT berfirman dalam Surat Asy-Syams [91] ayat 8-10:

فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ

وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ

Lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.

Kesempurnaan dan keunikan manusia justru dengan adanya kedua potensi dalam dirinya, yakni potensi ketakwaan dan kefujuran, potensi berbuat baik dan potensi berbuat buruk. Dengan kedua sifat dalam dirinya, setiap hari manusia akan selalu mengalami pertarungan batin antara tetap istiqamah dalam kebaikan atau mengikuti kecenderungan pada kemaksiatan.

Potensi kemaksiatan di antaranya muncul disebabkan meningkatnya syahwat yang meninggi, yang naik seiring kadar dan jenis makanan yang diasup. Menurunkan potensi fujur, selain menjaga jenis dan kadar makanan, juga dengan memperbanyak program berpuasa. Puasa akan membantu menurunkan sifat fujur, sehingga sifat takwa akan mudah meningkat tanpa penghalang yang berarti. Rasulullah SAW menasihati sesiapapun pemuda yang belum siap menikah untuk banyak berpuasa sementara waktu, sebagaimana riwayat al-Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah memiliki kemampuan, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”

Orang-orang yang terbiasa berpuasa, akan terbiasa pula mengekang hawa nafsunya, sehingga jiwanya mudah diarahkan kepada ketakwaan. Sejak Nabi Adam a.s. turun ke muka bumi pun, beliau pun telah berpuasa. Dijelaskan dalam kitab ‘Umdatul Qari’ Syarh Shahih al-Bukhari, bahwa sebab musabab dinamai ayyamul bidh terkait dengan kisah Nabi Adam a.s. ketika diturunkan ke muka bumi.

ثُمَّ سَبَبُ التَّسْمِيَةِ بِأَيَّامِ الْبِيضِ مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا سُمِيَتْ بِأَيَّامِ الْبِيضِ لِأَنَّ آدَمَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَمَّا أُهْبِطَ إِلَى الْأَرْضِ أَحْرَقَتْهُ الشَّمْسُ فَاسْوَدَّ فَأَوْحَى اللهُ تَعَالَى إِلَيْهِ أَنْ صُمْ أَيَّامَ الْبِيضِ فَصَامَ أَوَّلَ يَوْمٍ فَأبْيَضَّ ثُلُثُ جَسَدِهِ فَلَمَّا صَامَ الْيَوْمَ الثَّانِيَّ اِبْيَضَّ ثُلُثُ جَسَدِهِ فَلَمَّا صَامَ الْيَوْمَ الثَّالِثَ اِبْيَضَّ جَسَدُهُ كُلُّهُ

“Sebab dinamai ‘ayyamul bidh’ adalah riwayat Ibnu Abbas r.a., dinamai ayyamul bidh karena ketika Nabi Adam AS diturunkan ke muka bumi, matahari membakarnya sehingga tubuhnya menjadi hitam. Allah SWT kemudian mewahyukan kepadanya untuk berpuasa pada ayyamul bidh (hari-hari putih); ‘Berpuasalah engkau pada hari-hari putih (ayyamul bidh)’. Lantas Nabi Adam as pun melakukan puasa pada hari pertama, maka sepertiga anggota tubuhnya menjadi putih. Ketika beliau melakukan puasa pada hari kedua, sepertiga anggota yang lain menjadi putih. Dan pada hari ketiga, sisa sepertiga anggota badannya yang lain menjadi putih.”

Di masa Nabi Daud a.s., beliau pun membiasakan puasa sehari dan berbuka sehari. Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari no. 6277 dan Muslim no. 1159:

لاَ صَوْمَ فَوْقَ صَوْمِ دَاوُدَ ، شَطْرَ الدَّهْرِ ، صِيَامُ يَوْمٍ ، وَإِفْطَارُ يَوْمٍ

“Tidak ada puasa yang lebih afdhal daripada puasa Daud. Puasa Daud berarti sudah berpuasa separuh tahun karena sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa.”

Puasa Daud menjadi puasa yang lebih utama. Dijelaskan maknanya oleh ‘Abdurrauf al-Munawi (w. 1621) dalam kitab Faidhul Qadir Syarah Jami’ ash-Shaghir, Juz 1, hlm. 171:

لِكَوْنِهِ أَشَقَّ عَلَى النَّفْسِ بِمُصَادَفَةِ مَأْلُوفِهَا يَوْمًا وَمُفَارَقَتِهِ يَوْمًا

“Karena puasa Dawud itu memberatkan jiwa dengan mendapati apa yang disenangi jiwa sehari, lalu sehari kemudian meninggalkannya”.

Demikian pula puasa 40 hari di masa Nabi Musa a.s., puasa Nabi Ibrahim a.s., Nabi Yunus a.s., dan puasa Nabi Isa a.s. Disebutkan dalam Tafsîr al-Thabari, bahwa puasa ‘Asyura juga pernah dilaksanakan oleh Nabi Nuh a.s. sewaktu turun dengan selamat dari kapal yang ditumpanginya.

Sebelum turunnya kewajiban puasa di tahun ke-2 Hijriyah, Rasulullah SAW hanya melaksanakan puasa ‘Asyura. Namun, setelah datangnya Ramadhan, puasa Asyura tidak lagi diwajibkan, melainkan disunnahkan. Disebutkan dalam riwayat al-Bukhari no. 1760:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ أَنَّ عِرَاكَ بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَهُ أَنَّ عُرْوَةَ أَخْبَرَهُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ثُمَّ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصِيَامِهِ حَتَّى فُرِضَ رَمَضَانُ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa’id] telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dari [Yazid bin Abu Habib] bahwa [‘Irak bin Malik] menceritakan kepadanya bahwa [‘Urwah] mengabarkan kepadanya dari [‘Aisyah radliallahu ‘anha]; Bahwa orang-orang Quraisy pada zaman Jahiliyah biasa melaksanakan puasa hari ‘Asyura’. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk melaksanakannya pula hingga datang kewajiban shaum Ramadhan. Dan kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mau melaksanakannya silahkan dan siapa yang tidak mau juga tidak apa”.

Disebutkan pula bahwa puasa di bulan Ramadhan juga telah diamalkan oleh umat-umat sebelumnya.

وَرَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِيِّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ، عَنْ أَبِي الرَّبِيعِ، رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “صِيَامُ رَمَضَانَ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ..”

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari hadis Abu Abdurrahman al-Muqri yang mengatakan, telah menceritakan kepadaku Sa’id ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Walid, dari Abu ar-Rabi’ (seorang ulama Madinah), dari Abdullah ibnu Umar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Puasa bulan Ramadan diwajibkan oleh Allah atas umat-umat terdahulu.

Setelahnya, Nabi SAW pun mengajarkan beberapa puasa Sunnah yang bisa dikerjakan sebagai tambahan. Di antara puasa-puasa sunnah yang dimaksud, seperti Puasa Senin-Kamis, Puasa 3 Hari Setiap bulan Hijriyah, Puasa Daud, Puasa di bulan Sya’ban, Puasa 6 hari di bulan Syawwal, Puasa di awal bulan Dzulhijjah, Puasa ‘Arafah, dan Puasa ‘Asyura.

Umat-umat lainnya pun mengenal syariat berpuasa. Ada yang berpuasa 40 hari, atau beberapa hari, atau sekedar puasa dari makan daging semata. Semua ditujukan oleh syariat yang mereka yakini untuk tujuan yang sama: penyucian jiwa.

Dengan demikian, berbahagialah selalu dalam melaksanakan amalan puasa di bulan Ramadhan ini, karena engkau telah masuk lingkaran orang-orang shalih, berikut seluruh kebiasaan mereka menuju penyucian jiwa. Oleh karena amalan orang-orang shalih itu pula lah, kita berharap agar kita kelak membersamai orang-orang shalih di Jannah yang paling tinggi. Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.


Institut Adab Insan Mulia

▫️ Web: AdabInsanMulia.org
▫️ Telegram: t.me/sekolahadab
▫️ FB: facebook.com/adabinsanmulia
▫️ IG: instagram.com/adabinsanmulia
▫️ Twitter: twitter.com/adabinsanmulia
▫️ YouTube: www.youtube.com/AdabTVOnline
▫️ WA: https://chat.whatsapp.com/LELTACMjFab7bZm5igQoCB

Admin: wa.me/6287726541098

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button