Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
Ta'dibThe Worldview of Islam

1.2. Mengapa Ru’yat al-Islam li al-Wujud?

The Worldview of Islam

Setelah kita menelusuri sejarah panjang istilah worldview yang sarat dengan muatan budaya dan sejarah pemikiran Barat, muncul sebuah pertanyaan mendasar: Bagaimana para pemikir Islam merespons istilah ini? Apakah mereka menerimanya begitu saja, ataukah mereka menawarkan istilah tandingan yang lebih khas?

Sejarah pemikiran Islam modern mencatat beberapa upaya serius para tokoh untuk merumuskan konsep ini. Salah satu istilah yang cukup populer di pertengahan abad ke-20 adalah at-tashawwur al-islami. Istilah ini digunakan secara luas oleh pemikir Mesir, Sayyid Quthb (1906–1966 M), terutama dalam bukunya Khashais al-Tashawwur al-Islami. Quthb menggunakan kata tashawwur (konsepsi) untuk menggambarkan Islam sebagai sebuah gambaran cara pandang yang menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan, dan manusia.

Selain itu, ada pula istilah al-mabda’ al-islami (Ideologi Islam) atau kadang disebut al-nizham al-islami (Sistem Islam). Istilah ini sering diasosiasikan dengan pemikir anak benua India, Abul A’la al-Maududi (1903–1979 M), dan juga tokoh pergerakan seperti Taqiyuddin an-Nabhani (1909–1977 M). Penggunaan istilah mabda’ atau ideologi ini muncul sebagai respon perlawanan terhadap ideologi besar dunia saat itu, yaitu kapitalisme dan komunisme. Mereka ingin menegaskan bahwa Islam bukan sekadar ritual ibadah, melainkan sebuah sistem ideologis yang mampu mengatur negara dan masyarakat.

Meskipun kedua istilah di atas (tashawwur dan mabda‘) memiliki kontribusi besar dalam membangkitkan kesadaran umat, Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 1931 M) menawarkan koreksi dan penyempurnaan yang sangat fundamental. Menurut beliau, istilah tashawwur masih cenderung bermakna “konsepsi mental” atau gambaran yang ada di pikiran semata. Sedangkan istilah mabda‘ atau ideologi berisiko mereduksi Islam menjadi sekadar sistem politik-sosial yang setara dengan “isme-isme” buatan manusia. Islam lebih tinggi dari sekadar ideologi. Ia adalah agama (ad-Din) yang menyentuh hakikat wujud.

Oleh karena itu, Al-Attas merumuskan istilah yang jauh lebih presisi secara metafisik: ru’yat al-Islam li al-wujud (pandangan Islam tentang wujud). Pergeseran istilah ini bukan sekadar permainan kata. Al-Attas sengaja memilih kata ru’yat (pandangan/visi) yang menyiratkan penetrasi pandangan yang tajam menembus hakikat, dan kata al-wujud (eksistensi/ada) untuk menggantikan kata al-‘alam (dunia). Dengan kata ini, maka yang menjadi subyek adalah Islam itu sendiri, yang telah menjadi kerangka, paradigma, dan pandangan hidup berpikir seorang Muslim.

Mari kita bedah lebih dalam, mengapa beliau menggunakan kata al-wujud dan bukan al-‘alam atau the world? Dalam bahasa Inggris seperti Oxford Learner’s Dictionaries atau persepsi umum, kata “dunia” (world) sering kali dimaknai secara terbatas sebagai alam fisik yang terhampar di depan mata, atau kehidupan duniawi yang fana ini: the earth, with all its countries, peoples and natural features. Sedangkan dalam metafisika Islam, cakupan wujud merangkum segala realitas yang ada: mulai dari realitas fisik yang tampak (al-‘alam al-mulk), realitas jiwa dan malaikat yang tak tampak (al-‘alam al-malakut), hingga realitas mutlak yaitu Tuhan itu sendiri. Pandangan alam Islam tidak memisahkan antara kehidupan dunia (al-dunya) dan Akhirat (al-Akhirah). Keduanya dipandang dalam satu tarikan napas. Maka, istilah ru’yat al-Islam li al-wujud mengajak kita melihat realitas secara utuh, tidak terpotong-potong.

Selanjutnya, definisi Al-Attas ini juga menjernihkan salah satu kerancuan terbesar dalam cara berpikir manusia modern, yaitu jebakan dikotomi antara “subjektif” dan “objektif”. Dalam tradisi keilmuan sekular, kedua hal ini sering dipertentangkan. Sesuatu disebut “objektif” jika ia dianggap netral, bebas nilai, dan terlepas dari campur tangan perasaan pengamatnya. Sebaliknya, “subjektif” dianggap bias pribadi yang mengurangi kadar kebenaran. Akibatnya, pandangan hidup beragama sering dipojokkan sebagai pandangan subjektif yang tidak ilmiah.

Namun, Islam menolak pembagian kaku seperti ini. Mengapa? Karena dalam Islam, kebenaran (al-haqq) itu memiliki dua wajah yang menyatu. Wajah pertama adalah kebenaran sebagai realitas yang ada di luar sana (objek), dan wajah kedua adalah kebenaran sebagai keputusan di dalam jiwa (subjek) yang sesuai dengan realitas tersebut.

Mari kita ambil contoh sederhana. Ketika seorang ateis melihat sebatang pohon, ia mungkin melihatnya secara “objektif” hanya sebagai kumpulan sel dan kayu. Namun, ketika seorang Muslim yang sadar (subject) melihat pohon yang sama (object), ia melihatnya sebagai tanda (ayat) kebesaran Allah yang bertasbih. Apakah pandangan Muslim ini subjektif semata? Tidak. Karena menurut Al-Qur’an—standar kebenaran mutlak—segala sesuatu di alam semesta ini senantiasa bertasbih kepada-Nya. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra [17] ayat 44: “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya senantiasa bertasbih kepada Allah. Tidak ada sesuatu pun, kecuali senantiasa bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

Jadi, pandangan Muslim tersebut adalah pandangan yang sesuai dengan hakikat realitas pohon itu yang sesungguhnya. Dalam Islam, subjek yang memandang (jiwa manusia) tidak dituntut untuk menjadi kosong atau netral. Jiwa yang kosong justru adalah jiwa yang buta. Al-Qur’an menegaskan bahwa tidak ada posisi “netral” di antara kebenaran dan kebatilan. Seseorang harus memilih salah satu.

Allah SWT berfirman dalam surat Yunus [10] ayat 32: “Maka, itulah Allah, Tuhan kamu yang sebenarnya. Tidak ada setelah kebenaran itu kecuali kesesatan. Maka, bagaimana kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” Ayat ini adalah dalil kuat bahwa dalam memandang realitas, kita tidak bisa bersikap agnostik atau netral. Islam menghendaki subjek yang “tercerahkan” oleh wahyu. Ketika jiwa seorang mukmin telah terdidik oleh Al-Qur’an dan Sunnah, maka pandangan “subjektif”-nya akan menjadi cermin jernih yang memantulkan realitas “objektif” secara akurat.

Oleh karena itu, istilah ru’yat al-Islam li al-wujud melampaui perdebatan subjektif dan objektif. Ia adalah sebuah cara pandang di mana subjek (jiwa yang berilmu) memandang objek (realitas ciptaan) sebagaimana Tuhan—Pencipta realitas itu—menginginkan realitas tersebut dipandang. Di sinilah letak kekuatan pandangan alam Islam; ia bukan sekadar “konsepsi mental” (tashawwur) dan bukan sekadar “ideologi politik” (mabda’), melainkan visi hakiki tentang kenyataan yang diterangi oleh wahyu.

To be continued ….

@supraha | t.me/supraha

▫️ UWS Community: https://chat.whatsapp.com/Kgg2jHyTxsP5rkDg1KsqlI
▫️ Channel Wido Supraha: https://chat.whatsapp.com/I5EYNEUrJGiAoj7nv38Mjb
▫️ Diskusi Materi: https://chat.whatsapp.com/BDB76cPkRID7ZE3I2RGFns
▫️ Kelas Tadabbur: https://chat.whatsapp.com/KT7YRzgBXCA7SDQaYaWFpl
▫️ Tadabbur 6236 ayat: https://chat.whatsapp.com/I5B5E635tbp2f9DoUV3SaL


Institut Adab Insan Mulia

▫️ Web: AdabInsanMulia.org
▫️ Telegram: t.me/sekolahadab
▫️ FB: facebook.com/adabinsanmulia
▫️ IG: instagram.com/adabinsanmulia
▫️ Twitter: twitter.com/adabinsanmulia
▫️ YouTube: www.youtube.com/AdabTVOnline
▫️ WA: https://chat.whatsapp.com/LELTACMjFab7bZm5igQoCB

Admin: wa.me/6287726541098

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button