
Setelah kita memahami bahwa Islam memiliki cara pandang yang autentik, final, dan berporos pada wahyu, kini kita tiba di persimpangan jalan yang krusial. Kita hidup di dunia yang didominasi oleh peradaban Barat modern, mulai dari sistem pendidikan, ekonomi, hingga hiburan. Sering kali, kita tergoda untuk berpikir bahwa perbedaan antara Islam dan Barat hanyalah masalah “kulit” atau budaya saja. Kita mengira, “Ah, mereka makan roti, kita makan nasi. Mereka pakai jas, kita pakai baju koko. Tapi intinya kan sama-sama manusia, sama-sama ingin baik.”
Mungkin sebagian dari kita merasa skeptis dan bertanya: “Mengapa kita masih sibuk mempertentangkan Islam dan Barat? Bukankah dikotomi ini sudah usang dan tidak relevan di era globalisasi yang cair ini?”
Anggapan bahwa perbandingan ini “tidak relevan” adalah sebuah kekeliruan besar yang berbahaya. Mengapa? Karena peradaban Barat saat ini bukan sekadar entitas geografis yang ada di Eropa atau Amerika, melainkan sebuah peradaban hegemoni yang memegang kendali atas ilmu pengetahuan, teknologi, dan standar nilai global. Tantangan terbesar bagi pemikiran Islam hari ini datang dari pandangan alam Barat yang menyusup halus melalui kurikulum pendidikan, tontonan media, dan gaya hidup. Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 1931 M) menegaskan bahwa tanpa membandingkan dan menarik garis pembeda yang tegas, umat Islam akan kehilangan kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri. Kita akan menyerap racun pemikiran asing tanpa sadar karena menganggapnya sebagai “obat” kemajuan. Maka, membedakan Islam dan Barat bukan untuk mencari musuh, melainkan untuk mempertahankan identitas (self-defense).
Al-Attas mengingatkan kita bahwa perbedaan antara pandangan alam Islam (The Worldview of Islam) dan pandangan alam Barat (The Western Worldview) bukanlah perbedaan rincian, melainkan perbedaan yang bersifat diametral (bertolak belakang) pada level akar. Ibarat dua pohon yang tumbuh dari benih yang berbeda, di tanah yang berbeda, dan disirami air yang berbeda. Mencoba menyatukan keduanya tanpa seleksi ketat ibarat mencoba mencangkokkan dahan pohon kurma ke batang pohon cemara; hasilnya pasti penolakan atau kematian biologis.
Untuk menjernihkan pandangan, mari kita bedah perbedaan fundamental ini dalam beberapa aspek kunci:
1. Asal Muasal: Wahyu vs Spekulasi
Pandangan alam Islam lahir dari wahyu (revelation). Ia turun dari Allah SWT yang Maha Mengetahui, bersifat final, dan lengkap secara prinsip. Kebenarannya tidak menunggu validasi manusia. Sebaliknya, pandangan alam Barat modern lahir dari spekulasi filosofis manusia yang berevolusi sepanjang sejarah. Ia tumbuh dari keraguan, pemberontakan terhadap otoritas gereja di masa lalu, dan kesepakatan sosial (social contract). Akibatnya, pandangan Barat selalu berubah-ubah (flux). Apa yang dianggap “kebenaran” di era Modernisme (abad ke-19 M) bisa dianggap “kesalahan” di era Postmodernisme (abad ke-20 M).
2. Pusat Gravitasi: Teosentris vs Antroposentris
Ini adalah perbedaan yang paling mencolok. Islam bersifat teosentris (berpusat pada Tuhan). Tuhan adalah ukuran segala sesuatu (God is the measure of all things). Hidup manusia, moral, dan hukum berputar mengelilingi Ridha Allah.
Sebaliknya, peradaban Barat modern bersifat antroposentris (berpusat pada manusia). Mereka menganut adagium filsuf Yunani Protagoras: “Man is the measure of all things” (Manusia adalah ukuran bagi segala sesuatu). Dalam pandangan ini, manusialah yang menentukan baik dan buruk. Jika mayoritas manusia sepakat bahwa LGBTQIAS2+ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer/Questioning, Intersex, Asexual/Aromantic/Agender, Two-Spirit, dan Plus) itu hak asasi, maka itu menjadi “kebenaran” moral bagi mereka, meskipun Tuhan melarangnya. Inilah esensi dari Humanisme, yakni menuhankan manusia dan memanusiakan Tuhan.
3. Sikap terhadap Realitas: Tauhid vs Dualisme
Pandangan alam Islam dibangun di atas prinsip tauhid (kesatuan). Islam melihat realitas sebagai satu kesatuan yang padu: dunia dan Akhirat, jiwa dan raga, wahyu dan akal, sains dan agama—semuanya terintegrasi di bawah kekuasaan Allah. Tidak ada pemisahan. Seorang pedagang di pasar sedang beribadah (jika niatnya benar), sama seperti seorang ustadz di masjid yang juga sedang beribadah. Alam semesta pun dipandang sebagai “Ayat” (tanda-tanda) Tuhan yang hidup dan bermakna.
Sebaliknya, pandangan alam Barat dijangkiti oleh penyakit dualisme (pemisahan) yang kronis. Sejak masa filsuf Prancis René Descartes (1596 M–1650 M) yang memisahkan pikiran (mind) dan tubuh (body), Barat terus membelah realitas. Mereka memisahkan gereja dari negara (separation of church and state) dan memisahkan nilai agama dari fakta sains (fact-value dichotomy).
Puncak dari dualisme ini dijelaskan oleh teolog Harvard, Harvey Cox (lahir 1929 M), dalam bukunya The Secular City sebagai proses disenchantment of nature (pembebasan alam dari pesona spiritual). Bagi Barat, alam semesta telah dikosongkan dari jejak-jejak Tuhan. Hutan tidak lagi keramat, sungai tidak lagi bertasbih; semuanya hanyalah benda mati atau sumber daya yang siap dieksploitasi. Inilah akar dari kerusakan lingkungan hari ini. Sementara Islam menolak disenchantment ini; bagi Muslim, alam itu “enchanted” (terpesona/hidup) karena setiap atomnya tunduk dan bertasbih kepada Allah.
4. Basis Pengetahuan: Yaqin vs Skeptisisme
Islam mengajarkan bahwa tujuan ilmu adalah mencapai yaqin (kepastian/keyakinan). Al-Qur’an disebut sebagai Al-Huda (petunjuk) yang tidak ada keraguan di dalamnya (la raiba fih). Semakin berilmu seorang Muslim, seharusnya semakin yakin ia kepada Allah dan kebenaran wahyu.
Sebaliknya, metode berpikir Barat didasarkan pada skeptisisme (keraguan). Descartes memulai filsafat modern dengan cogito ergo sum (“aku berpikir maka aku ada”), yang diawali dengan meragukan segala sesuatu. Dalam sains Barat, keraguan dianggap sebagai kebajikan intelektual (intellectual virtue). Teori ilmiah dianggap benar hanya selama belum terbukti salah (falsification). Akibatnya, peradaban Barat menghasilkan manusia-manusia yang cerdas secara teknis namun jiwanya kosong dan penuh kecemasan eksistensial, karena tidak pernah sampai pada terminal kepastian. Mereka terus mencari (searching), tapi tidak pernah menemukan (finding).
5. Jiwa Peradaban: Al-Falah vs Tragedi
Ujung dari pandangan alam Islam adalah optimisme transendental yang disebut al-falah (kemenangan/kesuksesan dunia-akhirat) dan as-sa’adah (kebahagiaan/ketenangan jiwa). Islam menjanjikan happy ending bagi mereka yang beriman dan beramal saleh.
Sedangkan peradaban Barat, jika ditelusuri sampai ke akar mitologinya (Yunani Kuno), sebenarnya memiliki jiwa yang tragis (tragedy). Lihatlah mitos Sisyphus (mitologi Yunani Kuno abad ke-8 SM) yang dihukum mendorong batu ke puncak gunung hanya untuk jatuh lagi selamanya, atau Prometheus (mitologi Yunani Kuno abad ke-8 SM) yang dihukum karena mencuri api dewa. Peradaban Barat melihat hidup sebagai perjuangan abadi melawan alam atau nasib, tanpa akhir yang damai. Semangat “perjuangan tanpa henti” ini memang melahirkan kemajuan materi yang dahsyat, namun sering kali berujung pada kehampaan makna (nihilism) dan kerusakan alam.
Memahami perbedaan ini menyadarkan kita bahwa kita tidak bisa begitu saja meng-“copy-paste” konsep-konsep Barat (seperti Pluralisme, Feminisme, Liberalisme) ke dalam tubuh Islam. Mencampurkan pandangan yang berpusat pada keraguan ke dalam pandangan yang berpusat pada keyakinan hanya akan menghasilkan kebingungan (confusion). Tentu, tidak semua yang datang dari Barat wajib ditolak, namun juga tidak serta merta harus diterima tanpa proses seleksi kritis. Al-Attas menyebutnya sebagai proses de-westernisasi (membuang unsur-unsur pandangan alam Barat yang bertentangan) sebelum proses Islamisasi. Tanpa proses ini, kita hanya akan menjadi Muslim yang shalat menghadap Ka’bah, tapi berpikir menghadap Barat.
▫️ UWS Community: https://chat.whatsapp.com/Kgg2jHyTxsP5rkDg1KsqlI
▫️ Channel Wido Supraha: https://chat.whatsapp.com/I5EYNEUrJGiAoj7nv38Mjb
▫️ Diskusi Materi: https://chat.whatsapp.com/BDB76cPkRID7ZE3I2RGFns
▫️ Kelas Tadabbur: https://chat.whatsapp.com/KT7YRzgBXCA7SDQaYaWFpl
▫️ Tadabbur 6236 ayat: https://chat.whatsapp.com/I5B5E635tbp2f9DoUV3SaL
Institut Adab Insan Mulia
▫️ Web: AdabInsanMulia.org
▫️ Telegram: t.me/sekolahadab
▫️ FB: facebook.com/adabinsanmulia
▫️ IG: instagram.com/adabinsanmulia
▫️ Twitter: twitter.com/adabinsanmulia
▫️ YouTube: www.youtube.com/AdabTVOnline
▫️ WA: https://chat.whatsapp.com/LELTACMjFab7bZm5igQoCB
Admin: wa.me/6287726541098


