
Perjuangan Profetik Mengimbangi Hegemoni Sekuler dan Politisasi Pendidikan
Oleh: Wido Supraha (Institut Adab Insan Mulia)
A. Mengkritisi “Kebenaran” Kurikulum Negara
Dalam pandangan umum manajemen pendidikan, kesenjangan antara Intended Curriculum (rencana pemerintah) dan Enacted Curriculum (praktik guru/dosen) sering kali dianggap sebagai “kegagalan implementasi” yang harus diperbaiki melalui kontrol yang lebih ketat. Asumsi dasarnya adalah bahwa kurikulum negara selalu benar dan guru/dosen wajib mematuhinya.
Namun, Ben Levin (l. 1952) dalam analisis politiknya yang tajam membuka tabir bahwa kurikulum adalah produk dari pertarungan kepentingan. Analisis ini diperkuat oleh Ian Westbury (Profesor Emeritus, University of Illinois) yang menyoroti bagaimana perencanaan kurikulum sering kali didikte oleh politik akuntabilitas (ujian standar), bukan kebutuhan pedagogis murni. Keduanya menulis dalam buku pegangan otoritatif, The SAGE Handbook of Curriculum and Instruction (2008).
Jika kita tarik lebih dalam dengan perspektif kritis Islam, kita harus berani bertanya: Bagaimana jika Intended Curriculum itu sendiri yang bermasalah secara fundamental? Bagaimana jika ia disusun bukan demi kemaslahatan umat, melainkan demi kepentingan pragmatisme ekonomi, proyek bisnis, atau agenda sekularisasi?
Dalam konteks ini, kreatifitas guru/dosen di kelas (enacted) terhadap implementasi teks kurikulum (Intended) yang terlihat lebih maju dengan bervisi lebih tinggi, bukanlah sebuah ketidakdisiplinan, melainkan sebuah bentuk jihad pendidikan untuk menjaga keridhaan Allah SWT.
B. De-Sakralisasi Intended Curriculum
Kita perlu melepaskan pandangan lugu bahwa kurikulum nasional adalah “kitab suci” yang steril dari kepentingan dan sempurna dalam desain.
1. Kurikulum sebagai “Proyek” dan Komoditas
Mengacu pada Ben Levin (l. 1952), perubahan kurikulum (Intended) sering kali didorong oleh motif non-pedagogis:
a. Kepentingan Politik
Kurikulum diubah agar terlihat ada “kerja baru” dari rezim yang berkuasa, atau untuk menyisipkan narasi ideologis tertentu.
b. Kepentingan “Proyek Bisnis”
Perubahan kurikulum berarti proyek pencetakan buku baru, proyek pelatihan massal, dan proyek sertifikasi yang melibatkan perputaran uang triliunan rupiah.
c. Tekanan Global
Tekanan Global: Kurikulum sering didikte oleh standar internasional (seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS) yang, meskipun memberikan data komparatif yang berharga, sering kali diterjemahkan oleh negara menjadi tekanan untuk mencetak “buruh industri” (human resource) semata dan mengabaikan pencetakan “Hamba Allah” (Abdullah).
2. Keterbatasan Struktural
Selain faktor politik, pemerintah memiliki tanggung jawab yang sangat luas atas negara kepulauan (archipelago) dengan disparitas ekonomi dan budaya yang tinggi. Oleh karena itu:
- Sangat dimaklumi jika pemerintah hanya mampu menyusun kurikulum rata-rata (average curriculum). Kurikulum ini didesain agar bisa dijalankan di daerah tertinggal sekaligus di kota besar (standar minimal).
- Menyadari kurikulum negara sebagai “kurang ideal” adalah realistis, karena negara harus berkompromi dengan keterbatasan sumber daya. Namun, bagi sekolah/kampus Islam yang bervisi mumtāz (unggul), standar “rata-rata” ini tidak cukup.
3. Bahaya Laten Sekularisasi
Di balik standar rata-rata tersebut, kurikulum negara sering kali mengidap penyakit dikotomi ilmu. Agama diletakkan sebagai “suplemen” moral semata, sementara sains diajarkan sebagai kebenaran empiris yang terpisah dari Tuhan. Jika Intended Curriculum ini dilaksanakan apa adanya (letterlijk), ia berpotensi merusak akidah murid secara sistematis.
C. Enacted Curriculum sebagai Bentuk Perjuangan (Struggle) dan Penyempurnaan
Bagi sekolah/kampus atau guru/dosen yang memiliki ghirah (kecemburuan) terhadap agamanya, “kesenjangan” implementasi adalah sebuah kebutuhan. Michael Fullan (l. 1940) dalam The SAGE Handbook of Curriculum and Instruction (2008) juga mencatat bahwa keberlanjutan perubahan kurikulum sangat bergantung pada makna yang dibangun oleh guru/dosen di tingkat lokal, bukan sekadar instruksi pusat.
1. Guru/Dosen sebagai Filter (Penyaring)
Jika Intended Curriculum memuat materi yang bertentangan dengan The Worldview of Islam dan Pancasila (misalnya: sejarah yang memojokkan Islam, promosi nilai liberal yang bertentangan dengan Sila Pertama, atau biologi yang ateistik), maka guru/dosen wajib menyimpang dari rencana tersebut di dalam kelas (Enacted). Hal ini merujuk pada prinsip tegas dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad no. 1095 dan al-Hakim no. 5870:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.”
Hadits ini menjadi legitimasi teologis bagi Enacted Curriculum sebagai mekanisme pertahanan (defense mechanism) untuk membuang “racun” pemikiran yang ada pada dokumen resmi.
2. Tanggung Jawab Sekolah/Kampus Islam Swasta
Sekolah/kampus Islam yang sadar (seperti pesantren atau sekolah/kampus Islam terpadu) sering kali membuat Kurikulum Mandiri. Terlebih bagi sekolah/kampus swasta yang berbayar, mereka memiliki amanah moral dan profesional yang lebih berat:
- Orang tua membayar biaya pendidikan bukan untuk mendapatkan kualitas “rata-rata” (standar minimal pemerintah), melainkan untuk mendapatkan pendidikan terbaik (mumtāz).
- Sekolah/kampus Islam tidak boleh berpuas diri hanya dengan memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Mereka harus bergerak lebih tinggi mengejar Standar Langit (ridha Allah).
- Dalam praktiknya (enacted), mereka menjalankan kurikulum yang berbeda: memprioritaskan adab sebelum ilmu, menanamkan tauhid dalam setiap mata pelajaran, dan mengganti target “nilai ujian” dengan target “ridha Allah”.
Ini adalah bentuk kemerdekaan sejati. Mereka tidak rela anak didiknya menjadi korban eksperimen kebijakan yang berganti-ganti atau standar yang diturunkan demi pemerataan statistik.
D. Solusi: Dari Kepatuhan Birokrasi Menuju Integritas Ilahi
Solusi atas polemik intended vs enacted bukanlah dengan memaksa guru/dosen patuh pada negara (seperti pendekatan birokratis), tetapi mendorong kreatifitas guru/dosen agar semakin produktif berkreasi dengan standar Ketuhanan Yang Maha Esa.
1. Kewaspadaan Kritis (Furqan)
Pendidik harus memiliki kemampuan membedakan (al-furqan) mana materi kurikulum yang haq (benar/bermanfaat) dan mana yang batil (proyek/sekuler/rata-rata). Yang batil atau sekadar “rata-rata” harus ditingkatkan (upgraded) saat masuk ke kelas. Allah SWT berfirman mengenai sikap kritis terhadap mayoritas yang menyesatkan sebagaimana Surat Al-An’am [6] ayat 116:
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.”
2. Kurikulum Bayangan (Shadow Curriculum) yang Positif
Jika negara lalai mengajarkan adab dan tauhid, guru/dosen harus menyisipkannya secara “gerilya” di dalam kelas. Mungkin di atas kertas (intended) terlihat sesuai standar dinas, asalkan di dalam hati murid (enacted) tertanam iman yang kokoh yang jauh lebih tinggi dan mulia dari standar manusia.
3. Berani Berbeda (Ghuraba)
Sekolah/kampus Islam tidak boleh takut dicap “berbeda” jika kurikulum standar memang terbukti gagal membangun adab. Sebagaimana hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 145:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali asing sebagaimana bermulanya, maka beruntunglah orang-orang yang asing (al-ghurabā’).”
E. Kesimpulan
Sebagaimana diuraikan oleh Ben Levin (l. 1952) dan para kontributor lain dalam The SAGE Handbook of Curriculum and Instruction (2008), kurikulum adalah arena politik yang penuh intrik. Karena ia adalah produk kompromi atas keterbatasan negara (geografis/ekonomi), maka produknya sering kali bersifat “rata-rata” dan rentan disusupi agenda sekuler.
Oleh karena itu, menyamakan enacted curriculum (praktik) seratus persen dengan intended curriculum (rencana pemerintah) bukanlah prestasi bagi swasta, melainkan sebuah kemunduran kualitas. Bagaimanapun sekolah/kampus swasta tidak sama dengan sekolah/kampus negeri yang secara pembiayaan penuh dari pemerintah. sekolah/kampus swasta juga bukanlah kantor cabang pemerintah.
Guru/dosen dan sekolah/kampus Islam yang bervisi Akhirat harus berani bergerak lebih tinggi secara kualitas. Apalagi jika kurikulum negara menjauhkan anak dari Allah atau hanya menawarkan standar minimal, maka “menyempurnakan” atau “meluruskan” kurikulum tersebut di ruang kelas demi menyelamatkan iman, adab, ilmu dan amal murid adalah sebuah wujud keadilan dan keadaban bangsa. Memberikan pendidikan terbaik adalah bentuk kesetiaan tertinggi kepada Pemilik Ilmu yang Sebenarnya, Rabbul ‘Izzati wal Jalalah, Allah Yang Maha Besar.
@supraha | t.me/supraha
Diskusikan materi ini di: https://chat.whatsapp.com/LELTACMjFab7bZm5igQoCB
🌐 widosupraha.com
⚫ tiktok.com/@widosupraha
🔴 instagram.com/supraha
🟡 threads.com/@supraha
🟢 wa.me/628158912522
🟣 youtube.com/supraha
🔵 fb.com/wido.supraha
🟤 x.com/supraha
⚪ t.me/supraha
📝 scholar.google.com/citations?user=e8JkxTsAAAAJ&hl=id&authuser=1
▫️ UWS Community: https://chat.whatsapp.com/Kgg2jHyTxsP5rkDg1KsqlI
▫️ Channel Wido Supraha: https://chat.whatsapp.com/I5EYNEUrJGiAoj7nv38Mjb
▫️ Diskusi Materi: https://chat.whatsapp.com/BDB76cPkRID7ZE3I2RGFns
▫️ Kelas Tadabbur: https://chat.whatsapp.com/KT7YRzgBXCA7SDQaYaWFpl
▫️ Tadabbur 6236 ayat: https://chat.whatsapp.com/I5B5E635tbp2f9DoUV3SaL
Institut Adab Insan Mulia
▫️ Web: AdabInsanMulia.org
▫️ Telegram: t.me/sekolahadab
▫️ FB: facebook.com/adabinsanmulia
▫️ IG: instagram.com/adabinsanmulia
▫️ Twitter: twitter.com/adabinsanmulia
▫️ YouTube: www.youtube.com/AdabTVOnline
▫️ WA: https://chat.whatsapp.com/LELTACMjFab7bZm5igQoCB
Admin: wa.me/6287726541098


