Kuliah Ramadhan Hari 05: Puasa Sarana Penyucian Jiwa
Ta'dib: Ramadhan dan Pendidikan Adab
Oleh: Dr. Wido Supraha, M.Si. (Direktur Institut Adab Insan Mulia | Founder Sekolah Adab)
Mendidik jiwa agar terawat kesuciannya dan sentiasa mencintai kebaikan bukanlah proses yang sebentar. Hal ini karena begitu banyak debu-debu kemunafikan, debu-debu kemaksiatan, debu-debu riba, atau debu-debu lainnya yang telah menempel sebulan terakhir. Membersihkannya tidak cukup sehari, maka Allah SWT menyiapkan hingga 29-30 hari atau sebulan lamanya (ayyaaman ma’duudaat). Sucinya jiwa adalah bagian dari standar tegaknya adab.
Allah SWT menjelaskan di dalam Al-Qur’an surat asy-Syams [91] ayat 8-10 bahwa Dia telah mengilhamkan dua sifat yang saling kontradiktif, sifat fujur dan takwa. Sifat fujur adalah sifat-sifat buruk yang terpendam dalam jiwa, sementara takwa adalah potensi-potensi kebaikan yang siap dibangkitkan dari dalam jiwa. Adanya sifat fujur akan membuat manusia selalu waspada dan mendorongnya untuk selalu mensucikan jiwa (tazkiyatunnafs) dengan meningkatkan ketakwaan. Dia berfirman:
فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ
Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.
Puasa adalah satu di antara amalan pensucian jiwa yang sangat efektif dalam menguatkan sifat takwa. Dengan puasa, seseorang semakin dapat menghayati bahwa hidup ini penuh dengan ujian, dan takwa adalah perisai dari setiap ujian tersebut. Jika seseorang tidak memiliki perisai dari ujian, maka sangat wajar jika akan membangkitkan sifat fujurnya.
Berkata Buya HAMKA dalam tafsirnya, Al-Azhar:
“Diberilah setiap diri itu ilham oleh Tuhan, mana jalan yang buruk, yang berbahaya, yang akan membawa celaka supaya janganlah ditempuh, dan bersamaan dengan itu diberinya pula petunjuk mana jalan yang baik, yang akan membawa selamat dan bahagia dunia dan akhirat.
Artinya, bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan menerima Ilham dan petunjuk. Semua orang diberitahu mana yang membawa celaka dan mana yang akan selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya.”
Selama ini manusia sulit dapat berpikir jernih, karena ia disibukkan dengan rutinitas kesibukan dunia. Begitupun kesenangannya dengan makanan yang berlebihan setiap harinya, telah melemahkan takwanya dan menguatkan fujurnya. Ramadhan menjadi terminal refleksi dari kesibukan dunia sekaligus terminal pengkondisi jasad agar merasakan lapar di siang hari, yang dengannya jiwa menjadi lebih mudah untuk merenungi hakikat kehidupannya.
Ketika seseorang berpuasa, maka sifat fujurnya ditekan dan sifat takwanya pun meningkat. Jiwanya mulai dibiasakan untuk bersabar, emosinya pun dikondisikan untuk mulai stabil, dan pada saat itu jalannya menuju Allah SWT kembali terang dan jelas.
Kesucian jiwa sebagai berkah Ramadhan inilah yang diharapkan dapat menjadi bekal melanjutkan perjalanan kehidupannya 11 (sebelas) bulan kemudian. Sehingga bukan sekedar takwa di bulan Ramadhan, tapi Ramadhan memberika bekal takwa bagi keberlangsungan hidupnya. Dalam mahfuzhat, disebutkan:
مَنْ عَرَفَ بُعْدَ السَّفَرِ اِسْتَعَدَّ
Barangsiapa mengenali jauhnya sebuah perjalanan, akan bersiap-siap.
Bekal Ramadhan mendidik manusia bukan saja menjauhkan diri dari larangan Allah SWT, tapi juga mampu menghindari apa yang dibolehkan Allah SWT. Maka sentiasalah meminta kepada Allah agar jiwa diberikan ketakwaan, sebagaimana Nabi SAW pun demikian dalam riwayat Muslim no. 2722:
وَعَنْ زَيْدٍ بْنِ أَرْقَم – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ :(( اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا )) .رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan:
‘ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL ‘AJZI WAL KASALI, WAL BUKHLI WAL HARAMI, WA ‘ADZAABIL QABRI.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kekikiran, ketuaan—kepikunan–, dan siksa kubur.
ALLAHUMMA AATI NAFSII TAQWAAHAA, WA ZAKKIHAA ANTA KHAIRU MAN ZAKKAHAA, ANTA WALIYYUHAA WA MAWLAAHAA.
Ya Allah, datangkanlah pada jiwaku ini ketakwaannya dan bersihkanlah ia. Engkaulah sebaik-baik yang dapat membersihkannya, Engkaulah Pelindungnya dan Rabbnya.
ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MIN ‘ILMIN LAA YANFA’, WA MIN QALBIN LAA YAKH-SYA’, WA MIN NAFSIN LAA TASYBA’, WA MIN DA’WATIN LAA YUSTAJAABU LAHAA’
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan.
Maka nikmatilah seluruh upaya kita untuk selalu mensucikan jiwa, karena ada keuntungan yang besar dibaliknya, sebagaimana Allah Ta’ālā berfirman dalam surat Al-A’la [87] ayat 14-15:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa, dan mengingat nama Rabb-nya, lalu mengerjakan shalat.”
Di antara keuntungan yang paling besar adalah derajat yang tinggi di Jannah-Jannah ‘Adn, sebagaimana surat Thaha [20] ayat 75-76:
وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ مَنْ تَزَكَّى
“Tetapi barangsiapa datang kepada-Nya dalam keadaan beriman, dan telah mengerjakan kebajikan, maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat yang tinggi (mulia), (yaitu) surga-surga ‘Adn, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang-orang yang menyucikan diri.”
adabinsanmulia.org