Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
Ta'dibThe Worldview of Islam

1.6. Wahyu sebagai Sumber Standar Kehidupan

The Worldview of Islam

Jika kita mengamati sejarah pemikiran manusia, kita akan menemukan sebuah pola pergeseran pusat gravitasi kebenaran. Pada masa Yunani Kuno (khususnya periode Klasik, sekitar abad ke-5 SM–4 SM), pusat kebenarannya adalah rasio atau logika manusia (logos). Pada masa Eropa Abad Pertengahan (sekitar abad ke-5 M–15 M), pusatnya bergeser pada otoritas Gereja Katolik (mengingat Protestanisme belum lahir saat itu). Kemudian, ketika memasuki era Pencerahan (Enlightenment) di Eropa (sekitar abad ke-17 M–18 M), pusat kebenaran ditarik kembali kepada manusia (antroposentris), baik melalui rasio (rasionalisme) maupun pengalaman indera (empirisme). Bagi peradaban modern hari ini, “kebenaran” adalah apa yang bisa dibuktikan di laboratorium atau apa yang disepakati oleh suara mayoritas parlemen.

Di tengah hiruk-pikuk klaim kebenaran inilah, pandangan alam Islam (Islamic worldview) berdiri tegak dengan prinsip yang berbeda secara radikal (mendasar atau mengakar hingga ke akarnya). Islam tidak menjadikan manusia—dengan segala keterbatasan akal dan gejolak nafsunya—sebagai pusat ukuran kebenaran. Islam meletakkan wahyu (revelation) sebagai poros utama (main axis) dan standar tertinggi dalam menilai segala sesuatu. Sikap ini disebut sebagai teosentris (berpusat pada Tuhan).

Mengapa harus wahyu? Bukankah manusia sudah diberi akal yang canggih?

Untuk menjawab ini, para ulama besar kita seperti Imam Al-Ghazali (1058 M–1111 M) dan ditegaskan kembali oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 1931 M), sering menggunakan sebuah metafora yang sangat brilian: metafora Mata dan Cahaya.

Bayangkan akal manusia itu ibarat “mata” yang sehat. Mata adalah organ yang luar biasa; ia bisa membedakan warna, mengukur jarak, dan mengenali bentuk. Namun, tanyakan pada diri kita: Apakah mata yang sehat bisa melihat di dalam ruangan yang gelap gulita? Jawabannya tentu tidak. Sehebat apa pun mata kita, ia tidak akan berfungsi tanpa adanya “cahaya” dari luar, seperti matahari atau lampu.

Nah, dalam pandangan alam Islam, akal (‘aql) adalah mata batin manusia, sedangkan wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) adalah cahaya matahari (nur). Hubungan keduanya sangat intim dan tak terpisahkan.

Kaum sekuler Barat ibarat orang yang membuang cahaya matahari, lalu bersikeras bahwa mata mereka sudah cukup untuk melihat segalanya. Akibatnya, mereka meraba-raba dalam kegelapan spekulasi, menabrak nilai moral, dan tersesat dalam ketidakpastian. Di sisi lain, ada sebagian kelompok agama yang ekstrem (fanatik buta) yang membuang peran mata (akal), lalu hanya berteriak tentang cahaya. Ini pun keliru, karena cahaya tidak akan berguna bagi orang yang menutup matanya.

Islam yang benar menyatukan keduanya secara proporsional. Wahyu diturunkan bukan untuk membunuh akal, melainkan untuk menerangi jalan bagi akal agar tidak tersesat. Akal sangat dihargai dalam Islam, namun ia memiliki “wilayah kerja” yang terbatas. Akal bisa mengetahui cara kerja alam semesta (sains), tapi akal tidak akan pernah sanggup menjawab pertanyaan eksistensial seperti: “Siapa pencipta alam ini?”, “Apa tujuan hidup saya?”, dan “Apa yang terjadi setelah mati?” tanpa bimbingan cahaya wahyu.

Oleh karena itu, dalam struktur realitas Islam, Al-Qur’an menempati posisi sebagai al-furqan (pembeda). Ia adalah alat ukur standar (criterion) yang memberikan kompetensi spiritual kepada manusia untuk memilah dan memilih dengan presisi.

Ketika seorang Muslim menjadikan Al-Qur’an sebagai poros, ia akan memiliki kemampuan membedakan (distinction) yang tajam. Kompetensi ini tidak terbatas pada satu aspek, melainkan mencakup spektrum luas pasangan-pasangan kontradiktif yang dijelaskan oleh Allah, di antaranya:

  1. Kebenaran (al-haqq) dan kesesatan (adh-dhalal).
    Ini adalah pembeda paling fundamental. Di luar kebenaran wahyu, yang ada hanyalah dugaan yang menyesatkan. Allah SWT berfirman dalam surat Yunus [10] ayat 32: “…Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan (fa madza ba’dal haqqi illa adh-dhalal)…
  2. Kebenaran (al-haqq) dan kebatilan (al-bathil).
    Pembeda antara realitas yang kokoh dan ilusi yang pasti lenyap. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra’ [17] ayat 81: “Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap’. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
  3. Keimanan (al-iman) dan kekufuran (al-kufr).
    Pembeda status dasar manusia di hadapan Tuhannya, antara yang menerima dan yang menolak kebenaran. Allah SWT berfirman dalam surat At-Taghabun [64] ayat 2: “Dialah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin…
  4. Jalan yang lurus (ar-rusyd) dan jalan yang menyimpang (al-ghayy).
    Pembeda arah jalan hidup yang matang/cerdas dengan jalan yang tersesat/keliru. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 256: “…Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar (ar-rusyd) daripada jalan yang menyimpang (al-ghayy)…
  5. Ketakwaan (at-taqwa) dan kefasikan (al-fujur).
    Pembeda kondisi jiwa; antara jiwa yang terjaga kesuciannya dan jiwa yang durhaka menerjang batas. Allah SWT berfirman dalam surat Asy-Syams [91] ayat 8: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan (fujura) dan ketakwaannya (taqwa).
  6. Halal (al-halal) dan haram (al-haram).
    Kompetensi hukum untuk membedakan apa yang diizinkan dan apa yang dilarang oleh Pemilik Syariat. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 168: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…” Rasulullah SAW juga bersabda dalam riwayat al-Bukhari no. 52: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas…
  7. Yang baik (at-thayyibat) dan yang buruk (al-khaba’its).
    Pembeda dalam hal kualitas konsumsi, budaya, dan gaya hidup. Positif didahulukan dari yang negatif. Allah SWT berfirman dalam surat Al-A’raf [7] ayat 157: “…(Dia) yang menghalalkan bagi mereka segala yang baik (at-thayyibat) dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (al-khaba’its)…
  8. Kebaikan (al-ma’ruf) dan kemungkaran (al-munkar).
    Kompetensi sosial-etika untuk menegakkan standar kepantasan dalam masyarakat. Allah SWT berfirman dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…
  9. Kebajikan (al-birr) dan dosa (al-itsm).
    Kompetensi adab untuk menilai bobot keshalihan dan pelanggaran perilaku. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ma’idah [5] ayat 2: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…
  10. Cahaya (an-nur) dan kegelapan (azh-zhulumat).
    Pembeda kondisi spiritual dan intelektual; antara pencerahan iman dan kegelapan kekufuran/kebodohan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 257: “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kepada) cahaya (iman)…
  11. Keadilan (al-‘adl) dan kezhaliman (azh-zhulm).
    Kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar, lawan dari menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya. Allah SWT berfirman dalam surat Al-An’am [6] ayat 82: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman…
  12. Kebahagiaan sejati (as-sa’adah) dan penderitaan (asy-syaqawah).
    Pembeda orientasi hidup; apakah mengejar ketenangan abadi atau kesengsaraan karena menuruti hawa nafsu. Allah SWT berfirman dalam surat Hud [11] ayat 105: “…maka di antara mereka ada yang celaka (syaqiy) dan ada yang berbahagia (sa’id).
  13. Kebaikan (al-hasanah) dan kejahatan (as-sayyi’ah).
    Pembeda kualitas dampak perbuatan, di mana kebaikan menghapuskan kejahatan.
    Allah SWT berfirman dalam surat Fussilat [41] ayat 34: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan…
  14. Perbaikan (al-ishlah) dan kerusakan (al-fasad). Pembeda visi sosial; antara membangun peradaban dan merusak bumi. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 11: “Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan (al-fasad) di muka bumi’, mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan (al-mushlihun)’.”
  15. Kejujuran (as-shidq) dan kedustaan (al-kadzib). Pembeda integritas personal; pondasi karakter seorang Muslim yang membedakan yang benar dan yang dusta. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ankabut [29] ayat 3: “…Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar (sadaqu) dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta (al-kadzibin).”
  16. Kemuliaan (al-‘izzah) dan kehinaan (adz-dzillah). Pembeda harga diri; kesadaran bahwa kemuliaan dan kehinaan ada di tangan Allah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 26: “…Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki (tu’izzu man tasya’u) dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki (tudzillu man tasya’u)…”
  17. Orang yang melihat (al-bashir) dan orang yang buta (al-a’ma).
    Pembeda antara mereka yang memiliki mata hati (bashirah) dan yang tertutup mata hatinya dari kebenaran. Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Ra’d [13] ayat 16: “…Katakanlah: ‘Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang…’
  18. Golongan Allah (hizbullah) dan golongan syaithan (hizbusy-syaithan).
    Pembeda loyalitas dan aliansi; kepada siapa seseorang memberikan kesetiaannya. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Mujadilah [58] ayat 22 dan 19: “…Mereka itulah golongan Allah (hizbullah). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.”
  19. Yang hidup (al-ahya’) dan yang mati (al-amwat).
    Pembeda antara jiwa yang hidup dengan cahaya iman dan jiwa yang mati dalam kekufuran, meski fisiknya berjalan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-An’am [6] ayat 122: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang… sama dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita…
  20. Ilmu (al-‘ilm) dan kebodohan (al-jahl).
    Pembeda derajat kemuliaan manusia berdasarkan pengetahuan akan kebenaran. Allah SWT berfirman dalam surat Az-Zumar [39] ayat 9: “…Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’…

Tanpa poros ini, manusia akan kehilangan orientasi. Ketika akal manusia atau budaya masyarakat mengatakan “A”, tapi wahyu mengatakan “B”, maka seorang Muslim yang sadar akan pandangan alamnya akan mendahulukan wahyu. Mengapa? Karena akal bisa bias oleh nafsu dan kepentingan, sedangkan wahyu adalah pengetahuan murni dari Yang Maha Mengetahui.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Furqan [25] ayat 1: “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.

Menjadikan wahyu sebagai poros berarti kita menggunakan Al-Qur’an untuk “mengadili” realitas, bukan sebaliknya. Kesalahan fatal kaum liberal hari ini adalah mereka menggunakan realitas zaman (HAM, demokrasi Barat, feminisme) untuk “mengadili” Al-Qur’an. Jika ayat Al-Qur’an tidak sesuai dengan tren Barat, ayatnya yang dipaksa tafsir ulang atau dibuang. Ini adalah bentuk ketidaksopanan intelektual yang disebut Al-Attas sebagai “hilangnya adab” (the loss of adab) terhadap ilmu.

Seharusnya, realitas zamanlah yang kita sorot dengan senter wahyu. Jika zaman sedang rusak, wahyu memberi petunjuk cara memperbaikinya. Jika zaman sedang maju teknologinya, wahyu memberi panduan adab penggunaannya. Wahyu adalah “Hukum Tertinggi” kehidupan. Sebagaimana warga negara yang baik tidak boleh membuat aturan RT/RW yang bertentangan dengan UUD negara, demikian pula seorang manusia tidak boleh membuat aturan hidup yang bertentangan dengan Wahyu Pencipta manusia.

Dengan menjadikan wahyu sebagai poros, kita akan selamat dari penyakit keragu-raguan (skepticism) yang menjangkiti dunia modern. Sains modern mungkin merevisi teorinya setiap 10 tahun sekali, tapi kebenaran wahyu itu stabil. Stabilitas inilah yang membuat peradaban Islam mampu melahirkan ilmuwan-ilmuwan raksasa di masa lalu seperti Ibn Sina (980 M–1037 M) atau Al-Biruni (973 M–1048 M). Mereka tidak menghabiskan waktu untuk meragukan Tuhan, tapi langsung tancap gas meneliti ciptaan Tuhan dengan panduan wahyu yang kokoh.

Jadi, dalam pandangan alam Islam, seorang intelektual sejati bukanlah orang yang banyak meragukan wahyu, melainkan orang yang akalnya tunduk patuh mengakui kebenaran wahyu, lalu menggunakan kekuatan akalnya tersebut untuk menjabarkan dan menerapkan kebenaran wahyu itu dalam membangun peradaban. Inilah makna akal yang tercerahkan (enlightened reason).

@supraha | t.me/supraha

▫️ UWS Community: https://chat.whatsapp.com/Kgg2jHyTxsP5rkDg1KsqlI
▫️ Channel Wido Supraha: https://chat.whatsapp.com/I5EYNEUrJGiAoj7nv38Mjb
▫️ Diskusi Materi: https://chat.whatsapp.com/BDB76cPkRID7ZE3I2RGFns
▫️ Kelas Tadabbur: https://chat.whatsapp.com/KT7YRzgBXCA7SDQaYaWFpl
▫️ Tadabbur 6236 ayat: https://chat.whatsapp.com/I5B5E635tbp2f9DoUV3SaL


Institut Adab Insan Mulia

▫️ Web: AdabInsanMulia.org
▫️ Telegram: t.me/sekolahadab
▫️ FB: facebook.com/adabinsanmulia
▫️ IG: instagram.com/adabinsanmulia
▫️ Twitter: twitter.com/adabinsanmulia
▫️ YouTube: www.youtube.com/AdabTVOnline
▫️ WA: https://chat.whatsapp.com/LELTACMjFab7bZm5igQoCB

Admin: wa.me/6287726541098

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button