BeritaInstitut AIMTa'dib

Transaksi Jual Beli Oleh Anak Usia Dasar

Ta'dib

Oleh: Dr. Wido Supraha, M.Si. (Direktur Institut Adab Insan Mulia)

Jual beli adalah aktifitas yang bernilai ibadah. Aktifitas ini dilakukan seorang Muslim untuk memiliki kemandirian ekonomi sehingga dapat berkontribusi lebih banyak untuk umat demi masa depannya yang lebih baik di Akhirat.

Secara umum, syarat penjual dan pembeli dalam transaksi memiliki beberapa kriteria. Di dalam kitab Kifayatul Akhyar, Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husny (752-829 H) menyebutkan:

ويشترط مع هذا أهلية البائع والمشتري فلا يصح بيع الصبي والمجنون والسفيه

Disyaratkan dalam jual beli sifat ahlinya penjual dan pembeli. Tidak sah jual belinya anak kecil, orang gila, dan orang bodoh (safiih).”

Pada realitasnya, hari ini cukup banyak anak-anak yang telah melakukan transaksi jual beli di masyarakat, baik karena keinginan sendiri, kebiasaan harian, atau karena penugasan dari orang tuanya. Tentunya, Islam harus memberikan bimbingannya melihat realitas yang berkembang hari ini, tanpa keluar dari batas-batas agama Allah, selama masih ada ruang-ruang diskusi dalam hal ini.

Dalam Kifâyatul Akhyâr (1/240), Syekh Taqiyuddin al-Hushny sendiri sebenarnya juga telah menemukan realitas tersebut di masanya, yang notabene berada pada rentang 600 tahun sebelum hari ini. Beliau menyatakan:

قلت ومما عمت به البلوى بعثان الصغائر لشراء الحوائج واطردت فيه العادة فى سائر البلاد وقد تدعو الضرورة الى ذلك فينبغى الحاق ذلك بالمعاطة اذا كان الحكم دائر مع العرف مع ان المعتبر فى ذلك التراضى ليخرج بالصيغة عن اكل مال الغير بالباطل فانها دلة على الرضا فاذا وجد المعنى الذى اشترطت الصيغة لاجله فينبغي ان يكون هو المعتمد بشرط ان يكون الماخوذ بعدل الثمن اهـ

Aku berkata: Termasuk dari fakta kejadian umum (bahwa) yang berlaku di masyarakat adalah disuruhnya anak kecil untuk membeli beberapa kebutuhan. Adat ini sudah berlaku di semua negara dan seperti sudah berjalan pasti karena kebutuhan (dharurat). Oleh karenanya, sepatutnya dalam menyikapi hal ini perlu menyamakan hukum masalah ini dengan jual beli mu’athah. Hal ini ditengarai ketika ada indikasi bahwa hukum berjalan beriringan dengan adat kebiasaan setempat yang mana hal yang diarusutamakan adalah unsur saling ridha dalam jual beli. (Mengapa demikian?) Agar supaya keharusan jual beli disertai dengan shighat menjadi terkecualikan dari alasan memakan harta orang lain dengan jalan bathil. Karena sesungguhnya inti dari shighat adalah menunjukkan keridhaan. Sehingga, jika sudah ditemukan maksud dari disyaratkannya shighat karenanya (yakni: saling ridha), maka alangkah baiknya jika pendapat yang paling ditekankan adalah maksud (mencari ridha itu), dengan catatan: jika barang yang diambil anak kecil adalah sebanding dengan harganya.”

Beliau mengambil jalan keluar dengan membawa kajiannya kepada jual-beli mu’athah, yakni jual beli tanpa sighat ijab kabul. Dengan mengambil maksud dan tujuan jual beli yakni tidak adanya kerugian di kedua belah pihak, sehingga terjadi saling keridhaan. Hal ini karena yang dikhawatirkan dari anak-anak sebenarnya akalnya yang belum sempurna, sehingga sangat mungkin menjadi pihak yang dirugikan.

Jual beli mu’athah memang mendapatkan perselisihan di kalangan ulama. Berkata Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’:

صورة المعاطاة التي فيها الخلاف السابق: أن يعطيه درهماً أو غيره ويأخذ منه شيئاً في مقابلته، ولا يوجد لفظ أو يوجد لفظ من أحدهما دون الآخر، فإذا ظهر والقرينة وجود الرضى من الجانبين ـــ حصلت المعاطاة، وجرى فيها الخلاف

Bentuk dari jual beli mu’athah yang terjadi perbedaan pendapat di atas ialah pembeli memberikan uang pada penjual dan pembeli mengambil barang dari penjual sedagai gantinya, dan tidak ada kalimat yang menyatakan ijab dan qabul, jika secara zahir ada kerelaan di antara keduanya yaitu pembeli dan penjual, maka itulah yang dinamakan jual beli mu’athah dan dalam jual beli mu’athah terjadi perbedaan ulama terkait keabsahannya.

Imam al-Ghazali termasuk yang terlihat cenderung membolehkannya. Disebutkan dalam al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah:

وقد مال صاحب الإحياء إلى جواز البيع في الأشياء اليسيرة بالمعاطاة لأن الإيجاب والقبول يشق في مثلـها عادة

Imam Ghazali dalam kitab Ihya condong kepada bolehnnya jual beli mu’athah (tanpa sighat) dalam benda-benda yang ringan, karena ijab dan qabul dalam jual beli benda-benda yang ringan biasanya sulit.

Oleh karenanya, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Ba’alawy dalam Bughyatu al-Mustarsyidin (Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt: 124), menjelaskan:

نقل أبو فضل في شرح القواعد عن الجوزي الإجماع على جواز إرسال الصبي لقضاء الحوائج الحقيرة وشرائها ونقل في المجموع صحة بيعه وشرائه الشيء اليسير عن أحمد وإسحاق بغير إذن وليه وبإذنه حتى في الكثير عنهما، وعن الثوري وأبي حنيفة، وعنه رواية ولو بغير إذنه

Abu Fadlal telah menukil dalam kitab Syarah al-Qawa’id, dari Al-Jauzy: Ijma’ ulama menyatakan bolehnya mengutus anak kecil (shabî) untuk memenuhi beberapa kebutuhan dan membeli perkara yang remeh. Abu Fadlal juga menukil dari Kitab al Majmu’ tentang sah jual belinya anak kecil, termasuk membeli sesuatu dengan jumlah sedikit. Imam Ahmad dan Ishaq menambahi: baik tanpa seidzin wali maupun dengan idzinnya sehingga banyak jumlahnya. Dinukil dari Al-Tsaury dan Abu Hanifah ada sebuah riwayat: meskipun tanpa seizin wali.

Dari penjelasan di atas, secara tegas bahwa untuk barang dagangan yang bernilai kecil (al-haqir), seperti jajanan, makanan ringan, minuman, dengan jumlah sedikit, tampaknya semua ulama madzhab pun membolehkannya. Apalagi jika hal ini menjawab satu model bentuk jual beli yang dinamakan Kantin Kejujuran, dimana setiap pedagang telah ridha dengan angka tertentu yang dibuat dalam bentuk tulisan yang ditempelkan di dekat barang yang dijual, dan pembeli mengetahui harga tersebut dan ridha dengannya, maka sejatinya telah terjadi akad meski tidak disebutkan. Lebih aman lagi jika ada pengawas jual-beli tersebut, dari kalangan orang dewasa yang terus mengevaluasi prosesnya setiap hari.

Dengan batasan-batasan di atas, maka dalam konteks mendidik (ta’dib) anak untuk memiliki semangat berdagang, dan membiasakan dengan mekanisme jual beli sesuai syari’ah Islam, dapat menggunakan prinsip-prinsip di atas, dengan pengawasan sehingga tujuan tercapai secara efektif. Dunia pendidikan sangat baik sekali jika melakukan rekayasa sosial (social engineering) kepada anak-anak yang belum baligh dan cakap dalam transaksi dengan pengujian secara bertahap sampai menjadi cakap dalam transaksi. Imam An-Nawawi dalam Ar-Raudhah menjelaskan:

  لَا بُدَّ مِنَ اخْتِبَارِ الصَّبِيِّ لِيُعْرَفَ حَالُهُ فِي الرُّشْدِ وَعَدَمِهِ. الي ان قال: وَلَا تَكْفِي الْمَرَّةُ الْوَاحِدَةُ فِي الِاخْتِبَارِ، بَلْ لَا بُدَّ مِنْ مَرَّتَيْنِ فَأَكْثَرَ بِحَيْثُ يُفِيدُ غَلَبَةَ الظَّنِّ بِرُشْدِهِ  

“Harus dilakukan pengujian anak kecil supaya diketahui kecakapan​​​​​​nya melakukan transaksi atau belum. Pengujian ini tidak cukup hanya satu kali, melainkan dua kali dan seterusnya sekiranya diperoleh dugaan kuat akan kecakapann​​​​​​ya melakukan tansaksi (rusyd).”

Menguji anak secara bertahap sebelum baligh, akan membantunya kelak jika telah baligh, sehingga sudah cakap dan terampil dalam melakukan transaksi sesuai prinsip syari’ah. Dalam hal ini Imam An-Nawawi dalam Raudhatut Thalibin (Beirut: Darul Fikr, Juz IV, hlm. 181), menjelaskan:

    وَفِي وَقْتِ الِاخْتِبَارِ. وَجْهَانِ. أَحَدُهُمَا: بَعْدَ الْبُلُوغِ. وَأَصَحُّهُمَا: قَبْلَهُ. وَعَلَى هَذَا فِي كَيْفِيَّتِهِ وَجْهَانِ. أَصَحُّهُمَا: يُدْفَعُ إِلَيْهِ قَدْرٌ مِنَ الْمَالِ، وَيُمْتَحَنُ فِي الْمُمَاكَسَةِ وَالْمُسَاوَمَةِ. فَإِذَا آنَ الْأَمْرُ إِلَى الْعَقْدِ، عَقَدَ الْوَلِيُّ. وَالثَّانِي: يَعْقِدُ الصَّبِيُّ وَيَصِحُّ مِنْهُ هَذَا الْعَقْدُ لِلْحَاجَةِ  

Adapun waktu ikhtibar atau pengujian itu ada dua pendapat di kalan​​​​​gan ulama ​​​​​​mazhab Syafi’i. Pendapat pertama setelah baligh, sedangkan pendapat kedua dan ini yang lebih shahih adalah sebelum baligh. Berangkat dari pendapat ini (sebelum baligh) terkait cara pengujiannya ada dua pendapat. Pen​​​dapat pertama yang lebih shahih ialah dengan memberikannya harta dan mengujinya untuk melakukan penawaran, jika sudah waktunya akad maka walinya yang melakukan akad. Adapun pendapat kedua yang melakukan akad adalah anak kecil tersebut dan akadnya pun sah karena adanya hajat.”

Syekh Ahmad Khatib as-Syirbini (wafat 977 M) dalam Muhgnil Muhtaj (Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiyah: 1415 H, juz III, hlm. 138) mengangkat pendapat Imam al-Mawardi, sebagai berikut:

    نقل عن الماوردي أنه يدفع إليه نفقة يوم في مدة شهر ثم نفقة أسبوع ثم نفقة شهر  

Dinukil dari Imam Al-Mawardi: (pengujian anak kecil dalam pengelolan harta) ialah dengan diberinya nafakah satu hari dalam waktu satu bulan, kemudian nafkah satu minggu, kemudian nafkah satu bulan.”

Semoga bermanfaat.

Institut Adab Insan Mulia

▫️ Web: AdabInsanMulia.org
▫️ Telegram: t.me/sekolahadab
▫️ FB: facebook.com/adabinsanmulia
▫️ IG: instagram.com/adabinsanmulia
▫️ Twitter: twitter.com/adabinsanmulia
▫️ YouTube: www.youtube.com/AdabTVOnline
▫️ WA: https://chat.whatsapp.com/LELTACMjFab7bZm5igQoCB

Admin: wa.me/6287726541098

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button