Ramadhan dan Pendidikan AdabTa'dib

Kuliah Ramadhan Hari 01: Taqwa dan Adab

Ta'dib: Ramadhan dan Pendidikan Adab

Oleh: Dr. Wido Supraha, M.Si. (Direktur Institut Adab Insan Mulia | Founder Sekolah Adab)

Ramadhan adalah bulan yang penuh keberkahan (syahrul mubarak). Sebagaimana kata ‘berkah’ yang bermakna bertambahnya kebaikan (ziyadatul khair), maka segala fasilitas yang Allah sediakan di bulan Ramadhan sejatinya akan mendorong orang-orang beriman untuk semakin meningkatkan kebaikan yang telah ia lakukan dan mendorong lahirnya variasi kebaikan baru dari dirinya.

Ramadhan membiasakan orang-orang beriman untuk memiliki cita-cita yang tinggi, dan menyusun rencana yang matang, bertahap dan sistematis untuk mencapainya. Tingginya cita-cita tersebut membutuhkan kesadaran penuh, kesabaran ekstra, dan kedisiplinan tinggi untuk melewati setiap tahapannya, bahkan dengan jiwa yang penuh diliputi kebahagiaan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Ketakwaan adalah tujuan inti dari pengamalan puasa di bulan Ramadhan. Ketakwaan yang sejauh ini telah dimiliki, dituntut untuk terus ditingkatkan dengan cara meninggalkan zona nyaman (comfort zone) menuju zona tidak pernah ingin berhenti dalam perubahan diri menuju kebaikan di atas kesadaran bahwa yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Ramadhan menegaskan bahwa perubahan yang dituju adalah ketakwaan yang semakin puncak.

Semakin tinggi tingkat ketakwaan kita tentu diyakini semakin besar pula rahmat Allah SWT yang dengan-Nya berharap semakin tinggi pula tingkatan Jannah yang Dia berikan. Bersungguh-sungguh menyiapkan bekal terbaik untuk hari sesudah kematian dengan demikian adalah hal yang terbaik. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 197:

وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ

Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!

Sebenarnya, dasar dari makna takwa adalah mengetahui apa yang harus dihindari dan ditinggalkan di dunia ini, sebagaimana Ibn Rajab al-Hanbali (1335-1393 M) pernah berkata:

وأصلُ التقوى : أنْ يعلم العبدُ ما يُتَّقى ثم يتقي.

“Takwa asalnya adalah seseorang mengetahui apa yang mesti ia hindari lalu ia tinggalkan.”

Pengetahuan manusia akan sesuatu yang harus ia hindari mendorongnya untuk bersegera meninggalkannya dalam segala kondisi dimana ia berpotensi terjerumus ke dalamnya. Dalam hal ini ia tidak pernah ragu untuk meninggalkannya karena ia telah mendapatkan kebenaran, kebaikan dan kebahagiaan yang hakiki. Ma’ruf al-Karkhi (750-815 M) menyebutkan dua contoh yang seharusnya sudah diketahui untuk dihindari sehingga ia bisa menunjukkan perbuatan orang-orang bertakwa, sebagaimana perkataan beliau yang dikutip dalam Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (1/402):

إذا كنتَ لا تُحسنُ تتقي أكلتَ الربا ، وإذا كنتَ لا تُحسنُ تتقي لقيتكَ امرأةٌ فلم تَغُضَّ بصرك

“Jika engkau tidak baik dalam takwa, maka pasti engkau terjerumus untuk memakan riba. Kalau engkau tidak baik dalam takwa, maka pasti engkau jika memandang seorang wanita lantas pandanganmu tidak kau tundukkan.”

Maka, orang-orang bertakwa selalu ingin menunjukkan keta’atannya kepada Allah dengan cara-cara yang Allah tunjukkan, bukan dengan cara-cara yang ia inginkan, dan itu semua ia kerjakan untuk mengharapkan rahmat Allah. Berkata Thalq bin Habib sebagaimana juga dikutip dalam Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (1/400):

التَّقْوَى : أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ اللَّهِ

“Takwa adalah engkau melakukan ketaatan pada Allah atas petunjuk dari Allah dan mengharap rahmat Allah. Takwa juga adalah engkau meninggalkan maksiat yang Allah haramkan atas petunjuk dari-Nya dan atas dasar takut pada-Nya.”

Disiplinnya orang-orang beriman diwujudkan dengan kedisiplinan untuk selalu berada di jalan keta’aatan dan selalu menjaga diri dari kemaksiatan. Mereka bahagia dalam menegakkan kedisiplinan jenis ini karena berharap rahmat dan ridha Allah SWT. Kedisiplinan seperti inilah yang disebut sebagai adab.

Maka ketakwaan adalah wujud dari tegaknya adab dalam jiwa seseorang. Maka marilah kita rawat proses menegakkan adab dalam diri dan keluarga kita. Jangan sia-siakan momentum Ramadhan untuk menguatkan proses yang selama ini kita telah mulai dan kerjakan. Semoga keletihan kita menegakkan proses yang benar berbasis adab ini berbuah kebahagiaan melihat mulai berseminya buah-buah adab dalam bentuk ketakwaan yang paripurna.

adabinsanmulia.org

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button