Konsolidasi Iman Adab MuaddibTa'dib

KIAM#29: Ilmu dan Budaya Ilmu

Konsolidasi Iman Adab Muaddib

KIAM (Konsolidasi Iman Adab Muaddib) adalah program 30 menit untuk saling menguatkan di antara para penggerak dan praktisi pendidikan yang bersepakat bahwa pendidikan harus dijalankan berorientasikan adab. Program ini berjalan setiap Senin malam, pukul 19.45 atau 20.00 WIB, disesuaikan waktu ‘Isya, dan program ini bersifat TERBUKA dan dapat diikuti oleh para pendidik secara UMUM untuk saling menguatkan di jalan pendidikan berorientasi Adab. Program ini mereferensikan materinya dengan kitab-kitab adab yang telah ditulis oleh para ulama untuk kemudian dikontekstualisasikan pada era digital hari ini.

Pada KIAM#29 ini tema yang diangkat adalah “Ilmu dan Budaya Ilmu“. Pada sesi ini, fokus pada penguatan Muaddib untuk mengingatkan kembali tentang makna mendasar dari ilmu dan bagaimana agar terbentuk budaya ilmu pada diri seorang guru.

SekolahAdab.ID mengambil sanad keilmuannya tentang adab dari Syed Muhammad Naquib al-Attas melalui murid-murid langsung beliau di ISTAC. Memahami konsep ilmu dan fokus pada budaya ilmu adalah di antara buah dari adab.

Menurut Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud, salah satu murid terbaik al-Attas, bahwa yang dimaksud dengan Budaya Ilmu adalah ‘keadaan dimana setiap lapisan masyarakat melibatkan diri, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan keilmuan bagi setiap kesempatan.‘ Budaya ilmu juga bisa dimaknai sebagai ‘kondisi dimana setiap tindakan manusia, baik di tahap individu dan setiap tingkatan masyarakatan diputuskan dan dilaksanakan berdasarkan ilmu pengetahuan melalui pengkajian atau syura.’

Di antara poin-poin pemikiran al-Attas sebagaimana bisa disimak dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam adalah bahwa ilmu itu didefinisikan dengan narasi, sebagai berikut:

  • Knowledge is both the arrival of meaning in the soul as well as the soul’s arrival at meaning (Ilmu adalah tibanya makna dalam jiwa dan tibanya jiwa pada makna).
  • In this definition, we affirm that the soul is not merely a passive recipient like the tabula rasa, but is also an active one in the sense of setting itself in readiness to receive what it wants to receive, and so to consciously strive for the arrival at meaning (Dalam definisi ini, kami tegaskan bahwa jiwa bukan sekadar penerima yang pasif seperti halnya tabula rasa, tetapi juga penerima yang aktif dalam pengertian aktif mempersiapkan diri untuk menerima apa yang ingin diterimanya, dan dengan sadar mengupayakan tibanya makna).
  • Meaning is arrived at when the proper place of anything in a system is clarified to the understanding (Makna dicapai ketika tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam suatu sistem terklarifikasi untuk dapat dipahami).
  • The notion of ‘proper place’ already implies the existence of ‘relation’ obtaining between things which altogether describe a system, and it is such relation or network of relations that determines our recognition of the thing’s proper place within the system (Gagasan tentang ‘tempat yang tepat’ sudah menyiratkan adanya ‘hubungan’ yang diperoleh antara benda-benda yang secara keseluruhan menggambarkan suatu sistem, dan hubungan atau jaringan hubungan yang menentukan pengenalan kita terhadap tempat yang tepat dari benda tersebut di dalam sistem).
  • By ‘place is meant here that which occurs not only in the spatio-temporal order of existence, but also in the imaginal, intelligible, and transcendental orders of existence (Yang dimaksud dengan ‘tempat’ di sini adalah apa yang terjadi tidak hanya dalam tatanan keberadaan spatio-temporal, namun juga dalam tatanan keberadaan yang imajiner, dapat dipahami, dan bersifat transendental).

Lebih lanjut beliau menyebutkan:

  • Since objects of knowledge from the point of view of human cognition are without limit, and since our external and internal senses and faculties of imagination and cognition all have limited powers and potentials, each created to convey and conserve information concerning that for which it was appointed, reason demands that there is a limit of truth for every object of knowledge, beyond which or falling short of which the truth about the object as it and its potentials should be known become false (Karena obyek-obyek ilmu dari sudut pandang kognisi manusia tidak ada batasnya, dan karena indra-indra eksternal dan internal serta kemampuan imajinasi dan kognisi kita semuanya mempunyai kekuatan dan potensi yang terbatas, masing-masing diciptakan untuk menyampaikan dan menyimpan informasi mengenai hal yang menjadi tujuannya, akal menuntut adanya batas kebenaran untuk setiap objek pengetahuan, di luar batas tersebut, atau jika tidak tercapai, kebenaran tentang objek tersebut dan potensinya harus diketahui menjadi salah).
  • Knowledge of this limit of truth in every object of knowledge is either attained by way of common sense if the object is already something obvious to the understanding, or it is achieved through wisdom, either practical or theoretical as the case maybe, when the object is something obscure to the understanding (Ilmu tentang batas kebenaran dalam setiap objek pengetahuan dapat dicapai melalui akal sehat jika objek tersebut sudah jelas untuk dipahami, atau dicapai melalui kearifan, baik secara praktis maupun teoretis, tergantung kasusnya, ketika objek tersebut menjadi sesuatu yang tidak jelas untuk dipahami).

Dan kemudian beliau menuliskan pula:

  • The apparent and obvious meanings of the objects of knowledge have to do with their respective places within the system of relations, and their ‘proper’ places become apparent to our understanding when the limits of their significance are recognized (Makna-makna yang jelas dan nyata dari obyek-obyek ilmu berkaitan dengan tempatnya masing-masing dalam sistem hubungan, dan tempat-tempatnya yang ‘tepat’ menjadi jelas bagi pemahaman kita ketika batas-batas signifikansinya dikenali).
  • This then is the position of truth: that there are limits to the meaning of things in the way they are meant to be known, and their proper places are profoundly bound up with the limits of their significance (Maka inilah posisi kebenarannya: bahwa ada batas-batas makna segala sesuatu sebagaimana hal-hal itu dimaksudkan untuk diketahui, dan tempat-tempat yang tepat sangat terikat dengan batas-batas signifikansinya).
  • True knowledge is then knowledge that recognizes the limit of truth in its every object (Ilmu yang benar dengan demikian adalah ilmu yang mengenal batas kebenaran pada setiap objeknya).

Penjelasan yang disampaikan oleh Al-Attas adalah dalam penjelasan untuk dipahami dalam konteks hari ini, sebagaimana al-Ghazali dahulu mengatakan bahwa ilmu itu adalah ma‘rifat al-shay’ ‘ala ma huwa bihi (mengenali sesuatu dengan jelas apa adanya, tanpa ditambahi dan dikurangi). Penjelasan al-Ghazali ini menyempurnakan pendapat-pendapat selainnya hari ini, misalkan seperti pendapat ar-Raghib al-Ashfahani bahwa ilmu itu adalah al-‘ilm idrak al-shay’ bi-haqiqatihi (mengetahui sesuatu dengan hakikatnya)Hal ini karena dalam kata ma’rifat terdapat unsur aktif daripada kata idrakWallaahu a’lam.

Semoga Allah SWT menjaga seluruh Muaddib/ah untuk menikmati seluruh ilmu dari Allah SWT dan menebarkan kebahagiaannya kepada seluruh murid-muridnya.

Salam Ta’zhim,

Depok, 04 Februari 2024, pukul 20.05-20.35 WIB
Dr. Wido Supraha, M.Si.
(Direktur Institut Adab Insan Mulia)

Institut Adab Insan Mulia

▫️ Web: AdabInsanMulia.org
▫️ Telegram: t.me/sekolahadab
▫️ FB: facebook.com/adabinsanmulia
▫️ IG: instagram.com/adabinsanmulia
▫️ Twitter: twitter.com/adabinsanmulia
▫️ YouTube: www.youtube.com/AdabTVOnline
▫️ WA: https://chat.whatsapp.com/LELTACMjFab7bZm5igQoCB

Admin: wa.me/6287726541098

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button