Ramadhan dan Pendidikan AdabTa'dib

Kuliah Ramadhan Hari 02: Bertahap Meraih Kesuksesan

Ta'dib: Ramadhan dan Pendidikan Adab

Oleh: Dr. Wido Supraha, M.Si. (Direktur Institut Adab Insan Mulia | Founder Sekolah Adab)

Kesuksesan hakiki Ramadhan adalah ketika para pengamal di bulan tersebut dianugerahkan gelar ketakwaan dari Allah SWT. Tidak ada kebahagiaan selain mendapatkan pengakuan dari Allah SWT semata, karena pada saat itu kita tidak lagi membutuhkan pengakuan dari selain-Nya, karena selain-Nya hanyalah makhluk. Nabi SAW menyampaikan firman Allah SWT sebagaimana hadits Qudsi riwayat al-Bukhari no. 1904 dan 5927:

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى

“Allah Ta’ala berfirman, “Kecuali puasa. Amalan puasa hanya untuk-Ku, Aku sendiri yang akan membalasnya. Hal ini karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanan hanya karena Aku.”

Tidak ada lagi kesuksesan selain mendapatkan yang terbaik dari pemberian Allah SWT, sebagaimana tidak ada yang paling membahagiakan seorang mukmin selain bertemu dengan Allah SWT, bahkan bertemu dalam kondisi memiliki catatan kebaikan yang banyak, termasuk di dalamnya amalan puasa di bulan Ramadhan. Maka disebutkan oleh Nabi SAW dalam kelanjutan riwayat di atas:

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

“Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.”

Namun, Ramadhan juga mendidik pengamalnya bahwa kesuksesan tidak diraih secara instan. Segala sesuatu yang diperoleh secara instan, tidak akan berakhir dengan kebaikan. Ibarat makanan instan (junk food) seperti mie instan saja disepakati bukanlah makanan yang baik untuk dikonsumsi secara terus menerus. Sama halnya dalam bab menuntut ilmu pun ternyata tidak bisa diraih kecuali dengan kesabaran dalam proses yang panjang, bukan proses yang instan. Imam asy-Syafi’i menuliskan dalam Diwan-nya, begitupula Syaikh az-Zarnuji menisbatkan untaian kalimat berikut ini kepada Sayyidina ‘Ali r.a.:

اَلاَّ  لاَ  تَناَلُ  اْلعِلْمَ   إِلاَّ  بِسِتَّةٍ      سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
ذَكاَءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِباَرٍ وَبُلْغَةٍ      وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ

Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan memenuhi 6 syarat. Saya akan beritahukan keseluruhannya secara rinci. Yaitu: Kecerdasan,  kemauan (rakus akan ilmu),  sabar,  biaya (pengorbanan materi/ waktu), petunjuk (bimbingan) guru dan dalam butuh waktu yang lama.”

Ibarat seorang mahasiswa ketika bercita-cita lulus dari sebuah perguruan tinggi, tentu mahasiswa yang baik adalah tidak sekedar bercita-cita lulus, tapi lulus dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) 4.0. Untuk meraih cita-cita tersebut, ia akan begitu sabar dalam melewati tahapan demi tahapan, yakni semester 1 hingga 8, dengan meraih IPS (Indeks Prestasi Sementara) 4.0. Untuk meraih IPS 4.0, mahasiswa tersebut akan begitu bersabar bahkan menikmati prosesnya dengan berusah mencapai presensi minimal 80%, mendapatkan nilai Quiz, UTS dan UAS yang semuanya di atas 90. Semangatnya seorang mahasiswa umumnya karena angka IPK 4.0 itu langsung nyata didapatnya di dunia, berikut dengan bumbu pujian dan apresiasi-apresiasi positif lainnya di dunia.

Maka jika untuk meraih IPK 4.0 saja setiap manusia bisa bersabar dan bersungguh-sungguh menekuninya, mengapa tidak demikian dengan cita-cita meraih Jannah tertinggi. Bukankah Nabi SAW telah mengingatkan umat ini sebagaimana riwayat at-Tirmidzi no. 2465:

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ

Barangsiapa yang semangatnya adalah untuk menggapai Akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.”

Tidak ada kesuksesan tanpa kedisiplinan, maka berbahagialah melewati setiap tahapan dengan penuh kedisiplinan. Jika kita menginginkan ujung akhir kesuksesan yang sempurna, maka sukseskanlah setiap tahapannya, karena tidak ada kesuksesan besar kecuali kumpulan dari kesuksesan-kesuksesan kecil. Ketika Nabi SAW dalam sebuah khutbahnya di hari terakhir bulan Sya’ban mengatakan sebagaimana sebuah hadits yang dihukumi dha’if oleh sebagian ulama, diangkat oleh Ibn Khuzaimah dalam bab fadla`il syahr Ramadlan in shahhal-khabar no. 1887:

 وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

Ramadhan bagian awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan dan akhirnya pembebasan dari api neraka.

Hadits di atas ibarat mengingatkan para pengamal Ramadhan, bahwa 10 hari pertama Ramadhan adalah baru pemanasan, 10 hari kedua adalah pembiasaan, namun di 10 hari terakhir Ramadhan, jangan sampai Mukmin menjadi loyo dan lemah. Justru di 10 hari terakhir inilah seharusnya mukmin punya orientasi tinggi untuk menjadi pemenang dengan semakin bersemangat dengan seluruh amalan-amalannya yang khusus seperti I’tikaf di 10 hari terakhir mencari keutamaan Lailatul Qadr.

Sebagai kesimpulan, Ramadhan mendidik manusia untuk fokus mensukseskan proses yang harus dijalani dalam orientasi besarnya sebagai pemenang Ramadhan. Allah SWT menilai pada seluruh prosesnya, sementara hasil kita serahkan kepada Allah SWT. Orientasi yang baik yang diikuti dengan proses yang baik akan mengundang rahmat dan ridha Allah SWT.

adabinsanmulia.org

 

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button