Ramadhan dan Pendidikan AdabTa'dib

Kuliah Ramadhan Hari 03: Kedisiplinan itu Adab

Ta'dib: Ramadhan dan Pendidikan Adab

Oleh: Dr. Wido Supraha, M.Si. (Direktur Institut Adab Insan Mulia | Founder Sekolah Adab)

Kedisiplinan itu adalah Adab, dan Ramadhan mendidik seorang mukmin untuk mencintai kedisiplinan. Bentuk pendidikan adab (ta’dib) selama bulan Ramadhan mencakup pada kedisiplinan dalam menyempurnakan jumlah hari dalam berpuasa, mengakhirkan sahur, menyegerakan berbuka, dan memilih makanan yang sehat dengan ukurang yang tepat. Tidak sempurna sebuah amalan tanpa penegakan kedisiplinan dari hal-hal yang paling terkecil sekalipun yang sering diremehkan oleh banyak orang.

Kedisiplinan pertama, kedisiplinan dalam memulai dan mengakhiri ibadah puasa. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 184 bahwa berpuasa itu pada hari-hari yang ditentukan saja, yakni dalam konteks bulan Ramadhan adalah sebulan (29 atau 30 hari):

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ

(Yaitu) beberapa hari tertentu.

Begitu pula pada ayat lanjutnya, 185:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”

Di tengah kondisi perbedaan di antara organisasi massa (ormas) Islam, maka hendaknya kaum muslimin berusaha mengedepankan persatuan ummat Islam. Setiap ormas Islam menyampaikan seluruh persaksiannya berbasis ilmu, sementara pemerintah harus menetapkan yang paling maslahat. Maka hendaknya bagi ormas Islam yang berbeda keputusannya dengan pemerintah tidak membesar-besarkan perbedaannya di tengah publik karena akan membuat kebingunan di tengah ummat, dan tidak dilarang mengamalkan keyakinannya di lingkungan internal jama’ah keormasan. Namun begitu, mengikuti apapun keputusan pemerintah juga diyakini memiliki keutamaan yang besar, sebagaimana keutamaan mengikuti mayoritas umat Islam di sebuah negeri. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda sebagaimana riwayat at-Tirmidzi no. 697:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”

Berkata Imam at-Tirmidzi terkait hadits di atas:

وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ

“Para ulama menafsirkan bahwa hadits ini yang dimaksud adalah berpuasa dan berhari raya bersama al jama’ah dan mayoritas manusia”.

Berkata Imam Ahmad dalam masalah ini:

يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ

“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”

Menjaga kebersamaan dengan pemerintah dalam area pembahasan agama yang masih bersifat ikhtilaf masih lebih banyak maslahatnya, wa bil khushush, dalam menampilkan persatuan ummat Islam dan persatuan hati seluruh kaum mukminin yang dengannya menggetarkan kelompok-kelompok Islamphobia.

Kedisiplinan kedua, kedisiplinan dalam mengakhirkan ibadah makan sahur. Sahur adalah waktu bagi seorang mukmin untuk banyak beristighfar kepada Allah SWT dan sahur juga merupakan waktu yang disunnahkan untuk melakukan ibadah makan dengan makanan yang halal, sehat dan ukuran yang tepat, sehingga jasad dapat bertahan dalam berpuasa sepanjang hari secara optimal.

Mengapa mukmin diperintahkan bersahur? Tentunya selalu ada hikmah di balik perintah agama. Secara khusus, Nabi SAW menegaskan adanya keberkahan di balik ibadah makan sahur, sebagaimana riwayat al-Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً

Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.”

Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (9/182) menjelaskan bahwa di antara keberkahan itu adalah karena bangunnya mukmin di waktu sahur akan mendorongnya memuliakan waktu itu untuk do’a dan dzikir, dikarenakan waktu itu adalah waktu diturunkannya rahmat Allah SWT dan diterimanya permohonan do’a dan istighfar. Oleh karenanya, Ibn Hajar al-Atsqallani menyatakan dalam Fath al-Bari (3/32) bahwa do’a dan istighfar di waktu sahur akan dikabulkan Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 17:

وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

“Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahur.”

Rasulullah SAW juga bersabda sebagaimana riwayat al-Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa 1/3 malam terakhir. Kemudian Dia berfirman, “Siapa saja yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.

Maka kedisiplinan mukmin membawanya untuk membiasakan diri dan keluarganya untuk banyak beristighfar di waktu ini mengharapkan keutamaannya. Dengan demikian waktu ini adalah waktu yang penuh kekhusyu’an dan khidmat, maka jangan ubah suasana yang kondusif ini dengan apa-apa yang dapat mengubahnya, misalkan dengan menyalakan televisi yang menampilkan acara-acara yang berbau hiburan dan mengundang gelak tawa, karena hal ini akan menghilangkan apa yang telah Allah SWT kondisikan untuk diri dan keluarga kita.

Di samping itu, waktu sahur adalah waktu untuk mempersiapkan jasad agar lebih kuat lagi dalam berpuasa. Sempurnanya puasa adalah karena didahului dengan amalan makan sahur. Rasulullah SAW bersabda dalam riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri r.a.:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.

Bukan saja makanannya yang berkah, namun yang melakukan ibadah sahur pun mendapatkan shalawat dari Allah SWT dan para malaikat-Nya. Hal ini sebagaimana riwayat Ahmad (3/44) juga dari Abu Sa’id al-Khudhri r.a.:

السُّحُورُ أَكْلَةٌ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur.

Untuk itu, Rasulullah SAW melakukan makan sahur dekat dengan waktu Subuh. Kira-kira jarak antara waktu Subuh dan selesainya makan sahur adalah sekitar 50 ayat Al-Qur’an dibacakan, sebagaimana riwayat al-Bukhari no. 1134 dan Muslim no. 1097:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ – رضى الله عنه – تَسَحَّرَا ، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِىُّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى الصَّلاَةِ فَصَلَّى . قُلْنَا لأَنَسٍ كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِى الصَّلاَةِ قَالَ كَقَدْرِ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً

“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu pernah makan sahur. Ketika keduanya selesai dari makan sahur, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, lalu beliau mengerjakan shalat. Kami bertanya pada Anas tentang berapa lama antara selesainya makan sahur mereka berdua dan waktu melaksanakan shalat Shubuh. Anas menjawab, ‘Yaitu sekitar seseorang membaca 50 ayat (Al-Qur’an).’

Kedisiplinan ketiga, kedisiplinan dalam menyegerakan berbuka. Sebagaimana keutamaan sahur yang diakhirkan, maka demikian pula keutamaan berbuka yang disegerakan (ta’jil). Tidaklah bertambah pahala orang yang berpuasa karena memperlambat berbuka. Justru, keutamaan terbesar akan diperoleh ketika seseorang menyegerakan berbuka.

Rasulullah SAW bersabda sebagaimana riwayat al-Bukhari dan Muslim:

وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.”

Oleh karenanya, para sahabat Nabi SAW pun membiasakan yang demikian, sebagai wujud kedisiplinan mereka dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan. Ibn Hajar al-Atsqallani dalam Fath al-Bari (4/199) mengangkat sebuah riwayat dari ‘Abdurrazzaq:

كَانَ أَصْحَاب مُحَمَّد صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَ النَّاسِ ، إِفْطَارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُورًا

“Sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling cepat dalam berbuka puasa dan paling lambat dalam makan sahur.”

Kedisiplinan keempat, memilih makanan yang baik bagi jasadnya. Kedisiplinan seorang mukmin dalam memilih jenis makanan dan juga ukuran makanan yang dimakannya, tentunya sangat menentukan kesehatan fisiknya, ketahanan jasadnya, dan kekuatan raganya dalam melahirkan variasi amal selama bulan suci Ramadhan.

Ada banyak hikmah di balik kebiasaan Nabi SAW berbuka dengan air putih dan kurma basah (ruththab). Seakan Nabi SAW mengkondisikan lambungnya yang belasan jam beristirahat untuk bersiap-siap kembali bekerja. Ada jeda waktu persiapan yang diberikan kepada lambung, sehingga tidak mendadak. Kebiasaan tersebut sebagaimana riwayat Abu Dawud no. 2356 dari Anas bin Malik r.a.:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya berbuka dengan rothb (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada ruthob (kurma basah), maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air.”

Ada banyak hikmah juga di balik kebiasaan Nabi SAW yang maka dengan ukuran khusus, sehingga tulangnya dapat tegak dalam amal shalih seperti menuntut ilmu dan beribadah. Dijelaskan dalam riwayat at-Tirmidzi no. 2380 atau Ibn Majah no. 3349:

عَنِ المِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيْكَرِبَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ:حَدِيْثٌ حَسَنٌ

Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada tempat yang lebih buruk daripada memenuhi perut keturunan Adam. Cukup keturunan Adam mengonsumsi yang dapat menegakkan tulangnya. Kalau memang menjadi suatu keharusan untuk diisi, maka sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.”

Oleh karenanya, jika umat Islam disiplin dalam bab makanan, maka lepas dari Ramadhan, ia akan memilih jasad yang terasa ringan dan prima untuk melanjutkan amalan di bulan-bulan berikutnya.

Keempat bentuk kedisiplinan ini tentu baru sebagian contoh dari sekian banyak pembiasaan baik dalam kedisiplinan yang Allah tetapkan kepada orang-orang beriman. Tentu, jika setiap mukmin terbiasa dengan kebiasaan baik ini, lama kelamaan ia akan menjadi kebutuhan, dan pada akhirnya akan menjadi good-habit yang tidak bisa ditinggalkan, insya Allah.

adabinsanmulia.org

 

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button