Kuliah Ramadhan Hari 04: Mudah Tapi Tidak Bermudah-mudah
Ta'dib: Ramadhan dan Pendidikan Adab
Oleh: Dr. Wido Supraha, M.Si. (Direktur Institut Adab Insan Mulia | Founder Sekolah Adab)
Puasa adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang baligh, berakal dan memiliki kemampuan untuk berpuasa. Jika pada suatu waktu seseorang memiliki halangan untuk berpuasa, seperti karena sakit atau sedang dalam perjalanan, maka ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa pada hari itu dengan kewajiban menggantinya di hari yang lain (qadha). Hal ini sebagaimana surat Al-Baqarah [2] ayat 185 yang menyempurnakan hukum yang ada pada ayat 184.
Di ayat 184, Allah SWT masih membolehkan seseorang yang merasa berat melakukan ibadah puasa dengan pilihan membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin. Namun dorongan untuk mengqadha puasa tetap disampaikan, sebagaimana firman-Nya:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Namun, di ayat 185, Allah SWT sudah menghilangkan kebolehan pilihan mengganti puasa yang ditinggalkan dengan hanya membayar fidyah tersebut. Sejak ayat ini turun, maka bagi siapapun yang masih memiliki kemampuan, maka tetap diwajibkan untuk menggantinya di hari yang lain, sebagaimana firman-Nya:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Demikianlah satu bentuk kemudahan dalam Islam, yakni memberikan pilihan untuk tidak berpuasa saat menderita penyakit atau sedang berada dalam sebuah perjalanan, dan mengarahkan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan di hari yang lain. Ini satu bentuk kemudahan dari Allah, dan tentu Allah SWT juga senang jika kemudahan-Nya diambil. Kemudahan itu disebut rukhshah dalam agama, sebagaimana pesan Rasulullah SAW dari ‘Abdullah ibn ‘Umar r.a. dalam riwayat Ahmad no. 5866 dan Ibn Hibban no. 2742:
إن الله تبارك وتعالى يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته
“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala senang jika rukhshah dari-Nya diambil, sebagaimana Ia membenci saat maksiat kepada-Nya dilakukan.”
Hal ini sejalan dengan karakteristik Islam sebagai agama yang mudah, sehingga siapapun dari umat manusia akan dengan mudah mencintai agama ini karena kemudahannya. Oleh karenanya, Islam mengingatkan ummatnya agar jangan berlebih-lebihan, tetap pada prinsip keadilan, prinsip pertengahan (wasathiyah) dan senantiasa menjaga hubungan kepada Allah (hablun minallah). Allah SWT berfirman dalam riwayat al-Bukhari no. 39 dalam Bab Ad-Din Yusrun:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ.
“Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah, sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala) serta memohon pertolongan (kepada Allah) dengan ibadah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam.”
Kemudahan dalam hal ini tentu berbeda dengan bermudah-mudah, karena kemudahan yang dimaksud adalah karena terbukanya beberapa pilihan atas sebuah persoalan dalam kehidupan. Dengan adanya beberapa pilihan, maka menghilangkan kesukaran. Hal ini tentu berbeda dengan orang-orang yang sengaja mencari-mencari yang paling mudah, sebagaimana sering diangkat dari ulama salaf:
من تتبع رخص العلماء فقد تزندق
“Barangsiapa mencari-cari rukhshah dari para ulama, maka sungguh ia telah berbuat zindiq”
Rukhshah itu sendiri dimaknai oleh Imam al-Munawi (1545-1621 M) sebagaimana tertuang dalam Faidh al-Qadir (2/376) adalah sesuatu yang terkait dengan adanya halangan yang bersifat syar’i.
وهي تسهيل الحكم على المكلف لعذر حصل
Rukhshah adalah keringanan hukum atas mukallaf (hamba yang sudah kena beban syariat) karena adanya ‘udzur.
Sifat kemudahan dalam syari’at Islam ini akan mendorong umat Islam menjadi pribadi yang memudahkan bukan mempersulit. Konsep hidupnya: “Jika bisa dipermudah, mengapa dipersulit?” Dengan adab seperti itulah, ia telah turut mendakwahkan keindahan Islam yang membuat jiwa-jiwa manusia disatukan dalam cahaya Islam. Rasulullah SAW bersabda dalam riwayat al-Bukhari no. 69 dan 6125, juga riwayat Muslim no. 1734:
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا.
“Permudahlah dan jangan mempersulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.”
Adanya pilihan-pilihan dalam beragama juga menghadirkan keragaman di wilayah yang memang diterima keragaman (fi majal al-ikhtilaf) di dalamnya. Dalam hal ini, kebiasaan para sahabat dahulu adalah saling menghormati dalam perbedaan dan saling bekerjasama dalam apa-apa yang menguatkan persatuan ummat Islam.
adabinsanmulia.org