Pendidikan Berbasis AdabTa'dib

Kapankah Lembaga Pendidikan Disebut Islami? | Pendidikan Adab di Lembaga Pendidikan Islam di Era Digitalisasi (5)

Pendidikan Adab di Lembaga Pendidikan Islam di Era Digitalisasi

Kapankah Lembaga Pendidikan Disebut Islami? Ini pertanyaan yang sengaja diajukan untuk membuat setiap lembaga pendidikan Islam berpikir ulang, sudahkah organisasi menyelenggarakan sebuah proses yang bernilai Islami, ataukah terjebak dengan rutinitas sehingga pada akhirnya terlihat sama saja atau sulit dibedakan dengan institusi pendidikan konvensional. Padahal berawal dari paradigma yang berbeda, pada akhirnya turunan implementasi teknis pun akan dapat dibedakan antara lembaga pendidikan Islami dan umum.

Sebagaimana kita sadari bahwa hari ini peradaban Islam sedang dalam kondisi kalah. Dunia dipimpin dengan narasi dan kekuatan militer Barat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pun berada dalam kepemimpinan mereka. Umat Islam untuk sementara ini masih berjalan tertatih-tatih untuk menyatukan berbagai potensinya dengan terus berharap kelak dipandang layak oleh Allah SWT untuk kembali memimpin dunia.

Umat Islam menyadari bahwa tidaklah lahir peradaban kecuali ditegakkan oleh generasi beradab. Generasi itu, sedikitnya saja mampu membangun strategi dan menyebarkan narasi yang didukung oleh umat, sehingga umat bekerja dalam narasi yang dikembangkannya. Apalagi jika generasi itu banyak dan mayoritas.

Sektor perjuangan yang dirasa sangat efektif dalam melahirkan generasi yang siap melahirkan peradaban tentunya adalah sektor pendidikan. Lembaga-lembaga Pendidikan Islami dengan demikian mengawali narasinya dengan menargetkan lahirnya generasi ini. Generasi peradaban adalah generasi yang memiliki modal untuk membangun peradaban karena ia telah terbiasa untuk tidak meremehkan adab-adab sederhana nan mudah yang dikondisikan dalam proses pendidikan yang dialaminya.

Lembaga pendidikan Islami juga adalah lembaga yang menyadari bahwa ilmu fardhu ‘ain harus didahulukan dan diselesaikan sebelum ilmu fardhu kifayah. Sejatinya setiap lembaga pendidikan memiliki kesamaan pada aspek-aspek yang mendasar (tsawabit) dan tentu akan memiliki kecenderungan yang berbeda-beda dalam aspek pengembangannya (mutaghayyirat). Di antara yang bersifat fardhu ‘ain adalah paradigma dan alur berpikir untuk menyelenggarakan pendidikan yang menegakkan Iman, Adab, Ilmu dan Amal.

Lembaga pendidikan Islami disebut Islami jika ia Qur’ani atau menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber referensi utama dan pertama dalam berbagai standar dalam kehidupan. Setiap manusia di dunia memiliki pemikirannya masing-masing, namun Al-Qur’an mendorong pembacanya untuk tunduk pada standar yang ditetapkannya, wa bil khusush, standar kebenaran (al-haqq), kebaikan (al-birr) dan kebahagiaan (as-sa’adah). Tidak disebut Islami jika Al-Qur’an hanya dijadikan pelajaran pelengkap penderita dalam proses penyelenggaraan pendidikannya.

Pandangan hidup Islami atau Qur’ani inilah yang akan menjadi paradigma dan kerangka berpikir atau alat filter dalam membaca pandangan-pandangan eksternal. Jika ada yang bersesuaian dengan nilai-nilai atau prinsip-prinsip dasar Islam, maka pandangan-pandangan eksternal itu dipandang sebagai hikmah yang tercecer yang justru menguatkan pandangan hidup Islami.

Oleh karenanya, lembaga pendidikan Islami seharusnya memposisikan dirinya sebagai pemimpin narasi seluruh wali murid dan masyarakat untuk selalu bahagia bersama narasi Qur’ani. Selanjutnya bersama-sama, bahu-membahu membangun ekosistem yang efektif dalam tujuan besar pendidikan, menginternalisasikan nilai-nilai Qur’ani itu ke dalam jiwa murid.

Lembaga pendidikan Islam adalah lembaga yang paling berhak menggunakan peristilahan yagn Islami di satu sisi dan menjadi lembagai yang paling kritis dengan peristilahan dan pemikiran asing. Hal ini karena peristilahan itu akan membangun cita rasa dalam jiwa murid.

Islam mendorong pemeluknya untuk menjalankan sesuatu dengan terbaik, bukan sekedar baik. Istilah ‘terbaik’ menurut al-Attas ada pada kata ihsan. Ketika arah pendidikan dijalankan dengan ihsani, maka akan lahir kerja-kerja yang profesional (itqan), terbaik (excellent) dan melampaui harapan para pihak (beyond the extra miles).

Depok, 29 Agustus 2022
Dr. Wido Supraha, M.Si. | Direktur Institut Adab Insan Mulia


IKHTISAR

  1. Berorientasi menegakkan peradaban dengan memulai dari pembiasaan pada adab-adab sederhana dan mudah
  2. Mendahulukan fardhu ‘ain sebelum fardhu kifayah
  3. Menegakkan iman à adab à ilmu à amal
  4. Menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber referensi utama (kebenaran, kebaikan, kebahagiaan), bukan sekedar pelajaran pelengkap penderita
  5. Menjadikan pandangan-pandangan eksternal sebagai hikmah tercecer yang menguatkan pandangan hidup Islami
  6. Memimpin seluruh wali murid dan masyarakat pada narasi Qur’ani dan kemudian menginternalisasikannya ke dalam jiwa murid
  7. Menggunakan peristilahan yang Islami, dan kritis dengan pemikiran asing
  8. Dijalankan dengan itqan (profesional) yang ihsan (excellent, beyond the extra miles)

Institut Adab Insan Mulia
▫️ Web: AdabInsanMulia.org
▫️ Telegram: t.me/sekolahadab
▫️ FB: facebook.com/adabinsanmulia
▫️ IG: instagram.com/adabinsanmulia
▫️ Twitter: twitter.com/adabinsanmulia
▫️ YouTube: www.youtube.com/AdabTVOnline
▫️ WA: https://chat.whatsapp.com/LELTACMjFab7bZm5igQoCB

Admin: wa.me/6287726541098

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button